Korea sedang berusaha menciptakan kebudayaannya sendiri di dunia hiburan untuk mendapatkan tempat dimata dunia. Lewat media yang sebenarnya sudah lama kita kenal, namun dengan piawainya memberi lebel seakan produk tersebut adalah ciptaannya. Siapa yang tidak mengenal istilah k-drama, k-pop dan yang terbaru webtoon.
Padahal kalau kita telisik sebenarnya ketiga produk Korea yang sedang ngehits ini adalah hasil dari serapan negara lain. Sebut saja K-Pop ( girband/boyband ) yang sebenarnya hanya group vocal biasa, namun mereka kemas dan dilebeli sehingga menjadi identitas tersendiri. Sedangkan webtoon mungkin dibuat untuk menyaingi manga milik jepang yang sudah lebih dulu dikenal.
Dan dari dunia K-drama belakangan ini mulai bergeser dengan mengikuti format serial tv amerika. Korea kini mulai berani keluar dari genre romansa dan kolosal yang selama ini menjadi andalannya, dan mencoba merambah ke thriller, mistery dan fantasi. Khususnya di dunia thriller karena kita berada di blog horror, serial Gap-Dong dan Signal bisa dikatakan berhasil menarik perhatian.
Perkembangan dunia hiburan korea selatan belakangan ini mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas maupun industrinya.
Khususnya di dunia sinema, rupanya korea terus memperbaiki diri dan tak main-main dalam meningkatkan kualitas dan siap bersaing dengan Hollywod. Berdasarkan artikel media daring yang saya kutip, Direktur Penelitian Kebijakan Korean Film Council (Kofic), Hyoun-soo Kim, memaparkan, para sineas di negerinya berbenah sedikit demi sedikit memperbaiki kualitas teknis film, seperti suara, gambar dan penceritaan.
Tentu keberhasilan ini tak lepas dari dukungan pemerintah untuk para sineasnya, ini terbukti dengan anggaran khusus yang selalu digelontorkan pemerintah Korsel untuk mengembangkan modal serta penelitian bagi industri perfilman Korea. Yang nilai per tahunnya mencapai Rp3,18 triliun.
Korsel memiliki hampir 100 lebih rumah produksi maka tak heran bila kita akan dimanjakan dengan varian film yang berbeda, karena biasanya setiap PH memiliki identitasnya tersendiri, seperti misalnya Filma Picture yang khusus membuat film-film bergenre horror dan thriller atau Film It Suda yang biasanya membuat drama.
Rasanya korea sudah hampir mencoba semua genre mainstream selama ini, zombie sudah ada, monster sudah ada, atau film arthouse juga banyak. Dan Filma Picture mencoba membuat terobosan baru untuk sebuah film garapannya, yaitu sebuah film horror, thriller, sosiopat dan webtoon di mix sehingga menghasilkan sebuah film berjudul Killer Toon.
SINOPSIS :
Ji Yun Kim seorang seniman webtoon divonis oleh psikiaternya mengidap sindrom alice in wonderland ( sindrom yang mengakibatkan dirinya tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan dunia khayalan ) harus berurusan dengan polisi karena webtoon hasil karyanya berhubungan dengan banyak kasus pembunuhan.
Setiap kali webtoon garapannya yang kebanyakan menceritakan kematian dipublish maka dalam waktu yang bersamaan juga terjadi sebuah kasus pembunuhan misterius yang detail kejadiannya sama persis dengan cerita webtoon yang digambar Ji Yun Kim.
Lalu apakah hubungan kasus-kasus kematian misterius dengan webtoon hasil karya Ji Yun Kim ? siapakah sosok pelaku dibalik kematian-kematian tersebut ?
REVIEW :
Bila membaca sekilas sinopsis film ini akan mengingatkan kita pada cerita Death Note, atau mungkin memang ide dasarnya dari situ. tapi dengan beberapa beberapa modifikasi tentunya yang akan membuat film ini berbeda.
Dengan tidak hadirnya aktor kawakan di film ini, saya sudah menduga bahwa Killer Toon adalah film horror yang lebih ngepop dan jauh dari kesan serius atau cerita yang mendalam. maka saya tidak terlalu berekpetasi tinggi pada film ini, sebuah twist yang sederhana diakhir cerita mungkin akan cukup membuat saya puas.
Dari segi gambar cukup menarik dengan diselipi animasi-animasi sebagai ilustrasi seperti dalam serial Halfword, namun sayangnnya gaya pernceritaan yang terkesan berbelit-belit terkadang membuat saya bingung. Seperti misalnya dalam menceritakan sosok Ji Yun Kim yang tidak bisa membedakan dunia nyata dan khayalan, ini tak lebih seperti halnya adegan mimpi buruk dalam film horror yang selalu diakhiri dengan adegan bangun tidur.dan lebih buruk lagi adegan ini diulang berkali-kali sampai membuat saya bosan.
Ngomong-ngomong soal sindrom alice in wonderland yang diderita si tokoh utama apakah penyakit ini ada atau tidak saya sempat searching dan hasilnya, voila! ternyata penyakit ini benar-benar ada meskipun tidak seimplisit yang dinyatakan dalam film ini. Konon katanya Lewis Carroll, sang penulis novel Alice in Wonderland juga mengidap penyakit ini (mungkin itu alasan kenapa peyakit ini dinamakan sindrom alice in wonderland). Dan banyak orang beranggapan bahwa Carrol menggunakan penyakitnya ini sebagai sumber inspirasi dalam menulis karyanya. Nah jadi sekarang kalian tahu salah satu syarat kalau ingin menjadi penulis besar hehe
Kembali ke review, Pembuat film ini mungkin sadar bahwa sedikit sekali sosok hantu yang menjadi ciri khas korea selatan yang masyarakat dunia kenal. Karena negri ginseng ini punya ikon sendiri untuk masalah terror yang mungkin lebih menakutkan dari hantu, yaitu pembunuh berantai.
Memang pada kenyataannya, negara tempat tinggal Lee Min-Ho ini mempunyai stok orang gila lebih banyak daripada stok dedemit di negri kita. Coba kamu hitung berapa jumlah film thriller asal korsel yang diadaptasi dari kejadian nyata, itu baru yang populer. Bila kamu berniat membuat buku tentang daftar pembunuh berantai dikorea selatan, mungkin akan lebih banyak lagi artikel yang kamu temukan.
Atas dasar itulah kemudian si penulis naskah merubah sosok hantu menjadi pembunuh. Seperti perkawinan genre antara horror demonic dengan horror sosiopat. Tapi berhubung ini yang bikin orang korea, jadi gaya penceritaan dibuat dengan alur yang tidak biasa dengan memakai alur campuran. Apakah itu membuat film ini keliatan cerdas ? sayangnya tidak.
Film tampak ambigu ditambah editing yang amburadul. Disini kamu akan melihat scene gambar yang loncat-loncat, walaupun saya sadar film ini mengambil gaya penceritaan alur campuran, tapi gak gini-gini amat. Misteri yang dimasukan begitu banyak, namun tidak dipadatkan dan malah memmbuatnya terasa ambyar kemana-mana. Bayangkan 4 tokoh sentral di film ini memiliki plot twistnya masing-masing, dan setiap korban pembunuhan tidak terhubung dengan benang merah cerita.
Bahkan untuk kasus siapa yang akan dijadikan tokoh antagonispun, si penulis naskah tampak kebingungan :
A : “Arwah penasaran mungkin layak jadi pembunuh dengan alasan balas dendam”
B : “Tapi kan hantu ga bisa bunuh orang ?”
C : “Yaudah deh, pembunuhnya manusia aja kemudian hantu dijadikan pemanis, ini kan film horror jadi harus ada hantunya
B : “Lah, kalau pembunuhnya manusia kenapa ga bikin film thriller aja sih ? hantu harus tetep jadi tokoh sentral, kamu harus menghormati genre horror supranatural”
A : “Tapi hantu kan cuma refleski ketakutan manusia kemudian menjelma menjadi sosok yang kabur antara bayangan dan realita. Mana mungkin bisa nyekek manusia, megang benda aja ga bisa (jawabannya mulai serius).
C : Tapi kan ini film hantu dimana semua aspek logis harus disimpan sementara.
A: Baiklah, bagaimana kalau kita masukan saja semuanya, hantu dan manusia menjadi pembunuhnya di film ini ?
PENONTON : terus fokus ceritanya mau kemana woiiiii ?
Begitulah kira-kira perdebatan 3 orang penulis dari film ini. Yang pada akhirnya terciptalah sebuah naskah yang warbiyasaahh.
Killer Toon mungkin film horror yang ditunjukan untuk penikmat dunia filsafat. Karena disini kita akan belajar tentang dunia gaib dan nyata, khayalan dan realita, baik dan buruk, ambisi dan dosa, balas dendam dan memaafkan, yang kemudian dibungkus dengan sebuah cerita yang mencampur adukan genre.
Sayangnya saya tidak secerdas itu untuk bisa menikmati film ini. Saya lebih suka sebuah cerita sederhana, tentang arwah yang menuntut balas kemudian dibumbui sedikit humor receh dan diakhiri dengan kematian antagonis yang mengenaskan.
Tapi walaupun begitu, Killer Toon telah menunjukan kepada kita, lagi dan lagi bagaimana berhasilnya negara ini mempromosikan kebudayaannya lewat media hiburan.
Jadi kesimpulannya apakah film ini layak untuk ditonton ?
Kalau mau nonton, ya nonton aja sih. Ga usah dengerin tulisan saya ini, wong setiap orang kan punya perspektif yang berbeda-beda akan apa yang ditontonnya..hehe
SCORE! |
Update terus donk blog ini
ReplyDeleteBgmna caranya kasi ranting?
ReplyDeleteGue mah amat bingung lah endingnya pun bingung ini teh siapa yg bunuh membunuh teh??
ReplyDeleteAppreciate this bblog post
ReplyDelete