28 February 2010

KERAMAT (2009)


REVIEWED BY 'R'.

Story :
Sebuah tim produksi film, sedang berada di daerah Bantul Yogyakarta dalam rangka persiapan shooting film. Sutradara dan Asisten Sutradara didampingi Manager Produksi dan 2 artis utama melakukan reece, sedangkan tim behind the scene mendokumentasikan persiapan produksi ini. Mereka membawa style kota besar, memasuki daerah yang masih dianggap tabu dan keramat. Tak lama berselang, kejadian demi kejadian aneh mereka alami, sampai dimana calon pemeran utama wanita dirasuki roh halus. Dengan bantuan seorang paranormal, mereka mencoba mengusir roh halus itu, namun gagal

Melalui paranormal, mereka mengetahui alam mistis di sekitar mereka sedang berkecamuk. Kehadiran mereka justru memperburuk keadaan. Hingga puncaknya pemeran utama wanita yang kerasukan roh halus itu menghilang.

Apakah yang terjadi selanjutnya? Sebenarnya misteri apa yang terjadi?



Review :

Well akhir-akhir ini susah rasanya nonton film Indonesia tanpa ekspektasi yang rendah. Apalagi setelah serbuan film2 horror dengan judul nggak masuk akal yang melecehkan akal sehat itu.
Sepanjang ingetan gue, film horror lokal era 2000-an yang gue tonton sampe abis cuman 'Kala', 'Pintu Terlarang' dan yang terakhir 'Rumah Dara'. Film yang lain cuma gue tonton ga serius, cuma buat di ketawain :D jeleknya amit-amit!, bahkan film horror-laris kaya : 'Jelangkung', 'Kuntilanak', apa 'Pocong' kaga ada yang mampu bikin 'sentimen-negatif' gue tentang film horror-lokal memudar.

Pas nyewa film ini di rental, gue udah bersiap-siap bikin review kaya 'Psikopat', namun rasanya instant-judgement gue --yang biasanya bener-- kali ini sedikit meleset. karena ternyata setelah ditonton, filmnya 'nggak kancrut-kancrut amat'. hehe


Oke, kita langsung ke review.

'Keramat' bisa dicatat sebagai film yang pertama kali menggunakan konsep 'handheld-camera' di Indonesia. Konsep yang sama bakalan diikuti ama film 'Te[Rekam]' yang bentar lagi rilis.

Sekedar info aja, --garis besarnya--, konsep handheld-camera adalah sebuah konsep penceritaan film yang ditampilkan dari sudut pandang kamera yang di pegang seorang subyek-nya. Dari konsep ini, yang ditawarkan pembuatnya adalah kesan 'realistis' yang cenderung kasar / apa adanya karena kamera yang nggak stabil, fokus yang berantakan dll. Nah, setelah itu, harapan pembuanya tentu dapat mengajak penonton ikut merasakan dan terlibat secara emosi atas apa yang tampil di layar.



Kalo diluar sono mah konsep ini udah nggak asing, Diantara film-film luar negeri yang memakai konsep handheld-camera adalah : Blair Witch Project, Open Water, Diary of The dead, Rec, Cloverfield, Quarantine, District 9, ama Paranormal Activity..dan mungkin kamu bisa nerusin listnya. Jadi, buat kamu yang nggak bisa menikmati film-film yang gue sebutin barusan, kayanya mesti jauh-jauh dari film ini.

premisenya sederhana : Orang2 kota yang diceritain disini ( kru film ) dinilai oleh entitas alam halus di lokasi suting yang disakralkan, sebagai manusia2 penuh nafsu dan ambisi, dan akhirnya dicetusin oleh sikap mereka yang terkesan meremehkan ke-sakral-an , makhluk dari dunia lain ini --yang diwakilkan oleh arwah Nyi PramodhaWardhani-- menjadi murka dan memutuskan memberi pelajaran buat mereka.

Tema ini sama ama film pendeknya Riri Riza, 'Titisan Naya' di Antologi 'Takut : Faces Of Fear.' Hanya bedanya Keramat' dieksekusi dengan konsep 'Cloverfield' yang settingnya di pindahin ke dalam hutan Candi Boko, dan monster raksasanye di replace ama makhluk-makhluk mistis khas Indonesia.


To the point, Film ini menarik di menit-menit awal, namun boring dan ngedrop dipertengahan sampe menit2 akhir ,
namun untungnya, itu dibayar ama beberapa scene-nya yang berhasil bikin gue meringis dan terkesan. Oke, gue ngaku deeh..adegan pocong melompat-lompat --di depan handycam yang terjatuh-- kemudian 'doi' berdiri didepannya selama beberapa detik, udah berhasil ngasih gue sensasi yang sama ama apa yang gue rasain ketika ngelihat ' hantu mengetuk2 jendela' dalam 'Pengabdi Setan'. Jelas, itu sensasi yang sama sekali nggak gue dapetin dari 'Paranormal Activity'. hoho, aneh, biasanya gue kebal ama segala jenis pocong hahaha

Semua cast juga gue pikir berakting 'cukup untuk kebutuhan film'. Bahkan debutan 'Migi Parahita' juga bermain nggak mengecewakan. Nggak bakalan menangin piala Citra emang, tapi gue bilang cukup. itu aja. Sedikit 'fun stuff', konon pembuatan film ini dikerjakan tanpa memakai script. jadi 15 menit sebelum take sang sutradara hanya memberi arahan adegan yang akan diambil, --sementara urusan dialog dan apa yang dilakukan pemaennya--diserahin pada improvisasi masing-masing. Di beberapa scene, trik ini berhasil ngasih nuansa realitas yang bagus, discene lainnya cuma menghasilkan usaha 'dramatisasi / aksi-sadar-film' nan lebay dan gerakan2 nggak penting yang garing.

Satu pujian lagi gue kasih buat Monty atas keputusannya nggak masukin tokoh gembrot atau banci yang biasanya kehadirannya malah mengganggu di film-film ginian, walaupun teriakan/jeritan karakter2 dalam film ini --yang menggantikan absennya illustrasi musik di sepanjang film -- ternyata sama annoying nya hahaha asli, nih gue nyetel film dengan volume dikecilin dan tetep aja annoying.

Kritik terbesar film ini jatuh pada desain kover/poster yang buruk, sungguh membuat siapapun berfikir "Keramat' adalah film sekelas 'Genderuwo'. Desainnya bahkan sama sekali nggak berhasil ngasih tau gue kalo ini adalah film dengan konsep ' Handheld-Camera' yang raw. Tapi, okelah emang masih mending gitu sih daripada poster nipu film2nya Nayato yang sok stylish/keren, tapi filmnya kancrut haha
terus, desain opening ama closing title sama aja jeleknya ama kover, hehe malahan pas ngeliat desain opening/closingnya gue keingetan ama desain opening/closing video-penganten yang biasa gue kerjain dulu :D
Hal menyebalkan lainnya, Monty Tiwa juga keliatan berusaha membuat filmnya 'berisi' dengan memberi 'ceramah' isu keseimbangan antara manusia dan alam. dan blunder fatalnye, pesan moral yang menggelikan ini disampaikan dengan cukup eksplist dan terkesan menggurui. Pesan moral bukan hal yang pengen gue cari di sinema-horror, boss...Fail!

But, overall, terlepas dari segala kekurangannye, ditengah kepungan film2 horror Indonesia yang berakhir dengan caci maki sarkastik penonton saking keterlaluan busuknye, 'Keramat' ( seperti gue bilang di awal ) ternyata adalah film yang boleh dibilang layak tonton, Kamera yang dipegang Cungkring berhasil menjadi 'mata' dan mengajak gue ikut merasakan terror dan aura mistik-lokal-yang kental.

Gue selamet nonton sampe abis tanpa ketiduran, tanpa harus cape ngeluarin dirty-word dan mencet tombol fast-forward di remote seperti biasanya, dan bahkan bisa menikmati beberapa adegannya.

Nggak bagus-bagus amat memang, tapi jelas bukan film jelek yang pantas disandingin ama "Psikopat'. So, list film horror-lokal yang gue tonton ampe abis bertambah satu : 'Keramat'.



Akhir kata, gue cuma mau nge-rekomendasiin film ini buat kamu tonton pada sebuah malam di mana aura-mistik kamu lagi bagus,
sebelum nonton matiin lampu, taburkan kemenyan, potong ayam cemani, cipratin darahnye ke tembok, rapalkan mantra 'Lingsir Wengi'
dan tekan tombol 'PLAY'!.

23 February 2010

PSIKOPAT (2005)


Kalian yang mengira bahwa 'Rumah Dara' adalah film Slasher pertama di Indonesia sepertinya harus menonton film ini.
yah, beberapa tahun sebelum booming filmnya Mo Brothers itu, sutradara 'Rudy Aryanto' ( mungkin nama samaran, karena biasanya sutradara idealis tidak ingin terlalu dikenal ) sudah terlebih dahulu memperkenalkan tokoh psikopat-bertopeng kepada horror-slasher-fan tanah air lewat film ini. dan menurut saya, inilah cikal bakal genre slasher modern di Indonesia.

................................................................................

STORY :
8 pemuda/i dari kota memutuskan untuk berlibur ke sebuah Villa yang terletak jauh di dalam hutan. Villa itu bernama 'Villa Hello'. Setelah menempuh perjalanan panjang yang nyaris membuat celaka, sampailah mereka di tempat yang dituju.
Kesan mengerikan villa ini sudah ditunjukkan dengan huruf 'O' yang hampir jatuh di papan namanya.


Namun, rupanya ke 8 muda/i ini adalah petualang2 sejati, karena meskipun villa yang mereka tuju hanyalah bangunan bobrok penuh sarang laba-laba, mereka tetap memutuskan menginap disitu.
Dan keputusan itu akhirnya harus dibayar mahal, karena tanpa mereka ketahui, Villa itu menyimpan masa lalu mengerikan.

dan kini..seorang psikopat bertopeng alumunium foil keluar dari kegelapan hutan untuk menuntaskan kisahnya.
menebar mimpi buruk buat 8 muda/i bodoh ini.

REVIEW :
Kali ini saya mencoba mereview dengan obyektif.
Saya juga mencoba untuk berfikir positif, konstruktif, apresiatif dan tentu saja kumulatif Image and video hosting by TinyPic
Saya sadar, membuat film itu bukanlah pekerjaan gampang ( walaupung sutradara film ini sebenernya nunjukin kalo bikin film itu gampang ). Saya juga sadar bikin film itu butuh dana yang besar, seenggaknya buat beli software Adobe Premiere, dan seplastik saos buat bikin efek darah. Jadi, rasanya tidak adil jika saya sebagai warga negara yang baik, --yang menginginkan per-film-an Indonesia maju--, hanya bisa mengeluh dan mengkritik, tanpa pernah sedikitpun mecoba memberi support mental kepada para sineasnya untuk memantapkan keputusan mencari mata pencaharian di bidang lain Image and video hosting by TinyPic.

Soal cerita, tentu nggak usah dipermasalahkan, toh ini kan cuma film slasher yang nggak terlalu bertumpu pada cerita yang cerdas dan kompleks. Jadi naskah dari lomba mengarang murid 'SD Inpres' pun rasanya cukup untuk dijadiin script film. yang penting kan eksekusinya..iya gak?

Pertama, saya demen ama sentuhan efek 'transisi-cepat' di beberapa scene dalam film ini, ini ngebuat filmnya terasa stylish dan berhasil menghadirkan nuansa thrilling yang membuat penontonnya mual dan pening.
efek fast-transition di tambah dengan soundtrack yang nggak sinkron semakin menambah horrornya film ini.

Lalu ada adegan megah 'menyeberang jembatan rapuh' yang digarap cukup apik dan kreatif dalam film ini.
Jika kalian terpana melihat adegan dalam 'Indiana Jones' dimana Harrison Ford bertarung melawan Amrish Puri di sebuah jembatan yang rapuh, maka kalian pun akan takjub melihat adegan ini. bahkan temen saya sampai menjerit-jerit histeris tak sanggup menahan ketegangan.

oke, daripada kalian penasaran ini saya kasih beberapa screenshotnya :


petualangan seru 'menyeberang jembatan rapuh'.


dan ketika giliran mobil yang menyeberang, ketegangan pun semakin menyergap.


epic!!!

Selain itu, visi sang sutradara untuk membawa penontonnya ke sebuah setting dunia 'antah berantah' adalah usaha yang konseptual, visioner dan ternyata cukup berhasil.
coba kalian perhatikan setting dan kostum pemain dalam film 'Kala' nya Joko Anwar, aneh bukan? sebenarnya itu bukan sebuah kesalahan setting/kostum namun usaha atau bagian konsep dari filmmaker untuk ngebawa penontonnya ke sebuah dunia lain yang nggak bakalan kita temui di kenyataan sehari-hari.
ini contoh yang terdapat dalam film ini :


seorang pria dengan kostum western/koboy duduk di sebuah warung --di tengah hutan-- yang hanya menyediakan saos dan teh botol.

jika kalian mengira bapak ini adalah seorang seniman hanya karena melihat topinya, maka anda terlalu stereotipikal. bapak ini adalah penjaga warungnya.

dan apakah kalian mengira bapak ini adalah seorang penjahat? anda salah..lebih tepatnya bapak ini tidak punya peran apa-apa.

membelah kayu dengan kostum 'tao ming tse'/asian boy band.

Untuk soal akting, rasanya pujian terbesar layak diberikan kepada si gendut yang udah memerankan tokoh super-duper annoying dengan sangat cemerlang.
saking annoyingnya, rasanya bukan hanya psikopat dalam film ini yang ingin membunuhnya, tapi semua penonton! ini fotonya hehe


dan oyah perhatikan sosok pria berkemeja di belakangnya, siapakah dia? saya curiga dia adalah sebuah 'penampakan', soalnya dia cuman nongol sekali saja di scene ini
Image and video hosting by TinyPic

terus, tentu saja jangan lupakan kreasi dahsyat-fenomenal topeng psikopat yang terbuat dari alumunium-foil itu!!!


Terakhir, ingat tagline film ini 'Beware Your Eyeball' maksudnya setelah menontonnya, periksakan bola mata anda untuk mencegah kejang-kornea.


...............................

Yaudah pembaca sekian dulu review dari saya, nggak tahu nih mau nulis apa lagi.
lagipula, Saya harus minum obat dulu, sampai jumpa di review selanjutnya.

94VZKNBHEN6T

17 February 2010

FEAST II: SLOPPY SECONDS


REVIEWED BY 'Z'.

Ketika fajar menyingsing di padang pasir antah-berantah tempat bar kite dulu dibuat porak-poranda, seorang survivor-kejutan dari seri pertama berbaring sekarat dengan sepenggal harapan buat meninggal dalam damai. Tentu harapannya buat menikmati sedikit ketenangan terakhir harus dipangkas pendek begitu orang itu sadar kalo dia cukup sial buat punya peran dalam sekuelnya pas satu wajah baru, yg sangat familiar, datang demi vendetta pribadi balas dendam buat nasib super-sial yg nimpa sodara-kembarnya. Tanpa disadari keduanya nganterin konsumsi daging mentah ke sebuah kota kecil antah-berantah yg jadi ladang perburuannye sekelompok karnivora luar angkasa. Bel ronde kedua berdenting pas kekacauan memuncak & organ tubuh beterbangan ke segala penjuru.




Ini judulnya Sloppy Seconds, seri II buat gorefest klasik John Gulager sekitar 2-3 tahun lalu: Feast! Kisah sekelompok orang tolol dalam sebuah bar serta usaha mereka buat bertahan hidup semalam di tengah badai gempuran predator2 tak dikenal. Feast pertama itu B-movie dengan produksi profesional. Penuh darah, gore ama humor sakit yg mungkin cuman bisa diterima dalam lingkaran ruang lingkup komunitas genre spesifik. Buat sesuatu yg sebegini memorable bagi mereka2 yg dulu nonton, gerakan marketing apaan yg lebih logis daripada bikin cast orang2 tolol baru buat ngisi slot peran expendable pada sekuelnya?


Ensemble tokoh yg berusaha menghindari kematian mengerikan kali ini terdiri dari gank biker all-grrrl bernama The Bleeders (gank cewe…bleeders, get it?), sepasang Luchadore kerdil sama neneknye, segitiga penjual mobil bekas-istrinya yg selingkuh-plus cowo yg doski tidurin, ama temen lama kita Bartender. Honey Pie, jezebel Babylon dari film pertama juga kembali. Tentunya, dengan cara gimane doski cabut dari seri pertama dulu die ngga dapet sambutan yg hangat dari yg laen & setelah sebuah reuni singkat, doski ngabisin sisa film ini buat berusaha nyelesaiin masalahnya sendiri. Dengan semua tokoh yg semuanye ngga bisa digolongin sebagai “orang baik2” ini, praktis panggung gore kita ini udah siap buat dilumurin darah. Pastinye darah tu cuman salah satu jenis santapan yg ada di daftar menu, masih ada sodomi binatang, cewe2 ber-tato buka baju, otopsi non-medikal, perlombaan muntah, balita pecah kaya jus tomat, monster ngencingin mulut cewe2 ber-tato buka baju, dll, dll. Asli, kalo semua itu bukan sesuatu yg pengen lo liat kalo nonton dvd...kayanya lo lagi baca review dari orang yg salah deh.



Benang merah semua kekacauan di atas adalah eksploitasi fantastis dari selera buruk dalam dosis tinggi. Ngga kaya kebanyakan film2 (yg katanya mah) "horror" di mana rentetan even yg terjadi cenderung berpihak kepada protagonisnye, di sini praktis apapun yg terjadi selalu naro para calon daging cincang yg disebut dengan “karakter”2nya ini dalam situasi yg sulit. Kaya gimane semestinya, kenikmatan dari nonton Feast II itu greget dari nungguin sapa yg bakalan mati di adegan berikutnya...serta seberapa gruesome hal itu bakalan terjadi.

Semua karakternya diperkenalkan secara acak lewat montase2 acak-acakan yg sebenernye ngga ngasih tau apapun yg signifikan, itu ditambah dengan fakta kalo ngga ada satupun diantaranya yg diperanin ama aktor/aktris kredibel, bikin nomor urut daftar terbunuh mereka jadi ngga kedeteksi, jelas sebuah nilai plus. Film ini juga padat berisi selera humor “kurang pantes”, cairan2 misterius sama gag kelas redah buat terkualifikasi sebagai film porno fetish, Sloppy Seconds boleh jadi adalah produksi Tromaville terbaik yg ngga dikeluarin ama Troma.

Dari sisi yg -relatif- negatif, ini dibikin dengan budget yg -juga relatif- rendah & dalam beberapa scene hal itu keliatan banget, terutama di bagian2 dimana sejenis sentuhan grafis komputer mulai dilibatin. Shot2 green-screen luar biasa keliatan green-screennye sampe pada tahap menggelikan. Tapi, kalo efek-visual a la Toxic Avenger adalah nilai minus buat satu jenis audiens, sejujurnya sih itu justru malahan jadi nilai plus buat jenis audiens yg lain, kaya yg gue bilang tadi: relatif.

................................................

Blood…guts…boobs…vomit…blood…urinal…blood…guns…guts…vomit…boobs. Feast II: Sloppy Seconds itu sekuel brilian dari film pertama yg brilian. Kabar2 belakang layar bilang kalo seri II ini sebenernya di-shoot bareng ama seri III-nya yg sekarang juga udah keluar dvdnye. Jadi keliatannya kita bakal punya franchise yg menjanjikan ke depan & kalo John Gulager tetep naro fokusnya di tempat yg bener, jangan heran kalo gue bakalan menghujani episode III nanti dengan puja-puji yg lahir dari fanatisme buta. Hell yeah,

MAKE FEASTS NOT SAWS!!!


10 February 2010

HAUTE TENSION ( HIGH TENSION )


REVIEWED BY 'M'

......................................................

Kayaknya udah bukan rahasia lagi, kalo Alexander Aja adalah sutradara horror favorit saya setelah Wes Craven [The Hills Have Eyes, Nightmare on Elm Street, Scream] dan posisinya setara ama Eli Roth [Cabin Fever, Hostel]. Nggak tau deh, tapi saya lebih seneng sama Aja. Dalam beberapa hal Aja lebih superb daripada Roth. Adegan2 sadis yg ditampilin dalam film2nya tuh begitu menggelora dan berhasil menciptakan thrilling continuity yg berakibat ledakan endorphin di seluruh tubuh. Konklusinya, kepuasan orgasmik bagi horror movie buffs, hingga di detik terakhir. Menjadikan film2 Aja tuh nggak cuman sekumpulan gory-scenes biasa, melainkan punya level ketegangan di atas rata-rata dan tetep berkelas. Ini kayaknya jadi alesan yg lebih dari cukup kenapa saya selalu ngikutin film2nya yg lain: remake The Hills Have Eyes dan Mirrors. Untuk ukuran film2 horror, nggak ada satupun film2 Aja yg [menurut saya] bisa dibilang jelek. Jelek pake tanda kutip dan jelek dalam arti sebenernya. Ngerti kan maksud saya?

......................................

Oke, kita mulai dari ceritanya dulu deh. Dibuka dengan suara lenguhan laki2 yg sedang diberi oral sex dalam sebuah truk rombeng, namun berakhir dengan ketidakpuasan dan dibuangnya potongan kepala si ‘pemberi jasa’ keluar jendela, kita langsung tau, maniak ini pastilah membutuhkan korban segar. Fresh meats itu tentu saja dua tokoh utama kita, Mari [Cecile de France] dan Alex [Maiwenn Le Besco], dua orang sahabat yg lagi mutusin untuk ngabisin libur kuliah di rumah orang tua Alex di daerah pertanian yg cukup terpencil. Nggak nyampe 20 menit pertama, kita langsung tau kalo Mari—yg mungkin tanpa kebetulan berperawakan atletis dan berambut cepak, sekilas kalian bakal ngira dia seorang calon polwan—adalah seorang lesbian, melalui adegan masturbasi yg [sialnya] nggak vulgar, tapi berhasil bikin saya menggigit bibir. Hehehe.

Malam yg harusnya tenang itu dirusak dengan kedatangan seorang laki2 nggak dikenal yg gemuk dan jelek—dengan napas yg selalu memburu tiap ngeliat cewek cakep, sangat memenuhi kriteria ‘fat pig’ dalam kepala kalian—yg tanpa motif apapun membantai seluruh keluarga Alex—mulai dari bokap, nyokap, adeknya yg masih kecil sampe anjingnya segala—melalui cara-cara yg mungkin selama ini nggak pernah ada dalam imajinasi kita. Si pembunuh tampaknya emang punya niat tersendiri dengan mutusin nggak ngebunuh Alex, melainkan menyekap dan menculiknya di dalam truk rombengnya dan lalu meluncur entah ke belahan bumi bagian mana. Menyisakan Mari yg harus berjuang untuk mengejar pembunuh yg menyandera sahabatnya, sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri. Dari situ, praktis dialog antar aktor-aktrisnya terhenti, dan dimulailah permainan kucing-kucingan terhebat dalam sejarah film horror yg sukses bikin jantung saya berdegup kencang selama 1 jam berikutnya. Ditutup dengan twisted ending yg cantik, bakalan bikin kamu tersedak dan berteriak “What the FUCKKK???” dengan penuh emosi.

..................................................................



Berita baik untuk kalian para psychos! Film ini nampilin berbagai cara dan eksploitasi pembunuhan yg menurut saya kreatif, namun tetep manjain selera old-school kalian! Di adegan awal, diliatin gimana si pembunuh misahin kepala bokap Alex dari tubuhnya dengan menggunakan lemari. Kedengeran aneh? Kalian harus tonton sendiri biar percaya, dijamin bagian yg itu bakal nempel terus di benak kalian! Hehehe. Lalu menggorok tenggorokan dengan pisau cukur dan menarik kepala yg udah putus itu—eyuuhh—tampak begitu nyata dan menyakitkan. Catat, film ini dibuat sebelum Tim Burton ngerusak imej-kengerian-pisau-cukur dengan proyek musikalnya yg lagi2 dibintangin oleh si Michael Jackson yg terjebak dalam style Keith Richards [baca: Johnny Depp] melalui Sweeney Todd. Nggak cuman itu, kalian masih bakal nemuin tangan yg dipotong sampe putus, kapak yg nancep di dada orang, pecahan kaca super-gede yg ‘nyungsep’ di kaki, muka remuk karena digebukin pake kayu yg udah dililit kawat-duri, dan terutama serangan gergaji mesin yg memporak-porandakan kaca mobil—berikut, ehem, sopirnya—jadi berkeping-keping. Intinya, organ tubuh manapun yg bisa berdarah, dibikin berdarah di film ini. Bahkan ada juga kekerasan terhadap anak di bawah umur yg dilakuin dengan mengarahkan shotgun ke kepala dan meledakkannya dalam beberapa detik berikutnya. Lengkap dan total messed up! Dan kalo berbagai tampilan gore dan mengerikan itu terlihat begitu indah, silahkan berterima kasih pada Gianetto De Rossi—master of make-up artist untuk masterpiece Lucio Fulci, Zombie—yg udah direkrut Aja untuk film ini.

Tapi sebenernya yg bikin film ini layak dapet applause panjang adalah gimana adegan2 gory sepanjang film itu tadi cuman jadi ornamen aja ternyata. Yg mengesankan dari film ini bukan semata parade adegan sadis di dalamnya, tapi kejeniusan Alexander Aja dalam meramu storyline sehingga plot yg sebenernya sederhana dan berlangsung dalam setting waktu yg singkat [film ini dimulai dengan perjalanan Mari dan Alex di sore hari, rentetan pembunuhan yg dilakukan di malam hari dan cerita berakhir ketika hari beranjak pagi] dengan formula standar film slasher ala ‘serial killer on the rampage’ ini tetep mengikat kamu untuk duduk, diam, nyimak dan setengah mati berusaha untuk nggak nutupin mata [kalo saya sih, nutupin kuping, hahahaha] dengan adrenalin yg terus-terusan dipacu.



Karakter film ini sesuai sama apa yg saya pengen selama ini: plot yg simpel dan straightforward, minim dialog, berdarah-darah, nggak kenal ampun, nggak ada lelucon apalagi kelucuan, dan pembunuh yg terlihat kayak manusia biasa dan nggak ngerasa perlu untuk bersembunyi di balik topeng aneh macem apapun namun bener2 nggak bisa di-stop dan jago banget bikin keputusan2 cerdas, bikin Jason dan Myers jadi keliatan—well—konyol. Very vicious.

Dan sebagai penghormatan kepada classic slasher of 70’s, semua peralatan yg pernah kamu temui di film horror praktis dihadirkan di layar dan digunain untuk ngabisin tokoh2 nggak penting kita, mulai dari pisau cukur, pisau gede tukang jagal, shotgun, kapak, gergaji mesin. You name it. Saya nemuin banyak lobang di plot-nya, tapi ini nggak jadi masalah sama sekali karena semua lobang itu udah diisi dengan intensitas [baca: ketegangan] yg rapat dan dengan teganya ngebiarin saya yg terterror secara psikis ini untuk ngatur napas berkali-kali. Aja kayaknya emang nggak ngerti arti kata ‘limit’ dan berbarengan dengan itu, dia udah dengan pinter ngedefinisiin apa itu ‘tensi tinggi’, kayak yg udah dengan songongnya dia pake untuk judul film.

Kehebatan sesungguhnya dari film ini tentu saja endingnya yg menurut saya ngebingungin banget kalo dipikir pake logika dan bikin keseluruhan film ini jadi luar biasa nggak masuk akal. Tapi itulah yg membuat film ini sempurna: ke-brilian-an film ini bikin kita nggak peduli sama segala ketidakmungkinan yg paling mungkin, sekaligus meninggalkan kita yg terduduk lemes dan kesel karena ngerasa udah ditipu mentah-mentah dengan cara yg licik.

Well, dari departemen sinematografis, sebenernya saya nggak terlalu terpesona dengan pendekatan yg dikasih Aja di film ini: tone warna yg kebiru-biruan, atmosfer yg kerasa janggal dan cita rasa yg terlalu artistik untuk tata cahaya dan properti yg dipake, tapi dengan berbagai scene yg sukses bikin saya terkagum-kagum karena sangat cerdik—beberapa sangatlah tricky sekali—mulai dari adegan paling awal sampe yg paling terakhir, membuat saya nggak heran kalo film ini jadi kesayangan fans fanatik film slasher sedunia.


Film ini dibikin [ato beredar ya?] taun 2004 dan dateng di saat yg tepat, ketika hati saya gagal bergetar meskipun udah nonton serentetan film2 yg gosipnya sih jadi 70’s horror revivals, macem Wrong Turn atau remake The Texas Chainsaw Massacre. Tapi, kekecewaan itu luntur ketika film slasher udah berhasil dibenerin dan dikembaliin ke tempat yg seharusnya oleh Haute Tension, melalui cara yg brutal, menyenangkan dan [herannya] romantis!

Film ini punya semua hal yg seharusnya ada dalam film slasher: serial killer dengan setelan ala Michael Myers [tanpa topeng, tentu saja] lengkap dengan truk jeleknya, serentetan pembunuhan keji yg tergabung menjadi mischief-mayhem ala The Last House on The Left, sampe digunainnya gergaji mesin dengan maksimal di 20 menit terakhir yg mengakibatkan screen jadi banjir darah. Yg terakhir ini pasti udah tau dong milik siapa, yup, The Texas Chainsaw Massacre. Bahkan film ini juga punya twist dan scene2 yg ‘sangat nggak mungkin’ ala 80’s classic Sleepaway Camp.

Beberapa temen saya kelihatan kesal setelah nonton film ini karena ending yg sama sekali nggak pernah mereka harepin nongol dalam film slasher. Tapi saran saya, mungkin kalian perlu nonton film ini 2 kali dan hati-hati supaya ngeh kalo film ini punya 2 prasyarat wajib yg bisa ngidupin term ‘horror classic’: suspense ala thriller dan kejahatan yg brutal. Mengherankan film slasher terbaik dan paling stylish yg saya tonton di awal 2000an ini justru berasal dari negara yg punya sensor ketat terhadap kekerasan [tapi tidak dengan nuditas], yaitu Perancis.

Untuk para pemainnya, saya cuman mau bilang kalo Cecile de France dan Maiwenn Le Besco, sangatlah bloody hot as hell! Akting keduanya nyaris sempurna dalam menebarkan terror psikis dengan mimik wajah dan bahasa tubuh yg teramat meyakinkan. Kredit khusus saya berikan pada the gorgeouusssss Cecile de France, yg udah meranin jagoan kita tanpa embel-embel superwoman dan selalu ngingetin kita kalo dia sebenernya cuman cewek biasa yg harus berjuang antara hidup dan mati ngelawan si brutally-fashioned-killer kita.
Satu hal lagi yg membuat film ini memenuhi standar ‘keren’ versi saya adalah hadirnya lagu Muse dan Sonic Youth di dalamnya :D. Word!

Gory, crazy, bloody, crafty. This is absolutely the best horror movie I’ve seen in the last decade! Kalian pecinta film horror—brutal gore fest with style—kalian pasti jatuh cinta dengan film ini!


06 February 2010

Dead in Three Days 2 ( 2008 )


REVIEWED BY 'R'.

Yap, gue nonton ini film ini setelah secara acak membelinya. iya asal-asalan aja hehe

Cuman karena ngeliat di kovernya ada gambar cewek di bekep + darah dimana-mana + ada sedikit review singkat dari 'bloody-disgusting.com' di backcovernya, gue beli nih film tanpa berani ber-ekspektasi tinggi.

..................................................


Film dimulai dengan dikenalkannya kita ama tokoh Nina ( Sabrina Reiter ) yang wajahnya mirip Andhara Early dan lebih pantes jadi vokalis band indie-pop daripada maen film ginian ( tapi cakep kok Image and video hosting by TinyPic ). Nina ini ternyata seorang survivor dari sebuah kejadian mengerikan dua tahun silam yang menimpa dia dan temen-temennya. Nah seperti layaknya Laurie Strode di 'Halloween II', doi pun ngalemin apa yang namanya trauma. Biar kata dia udah tenang hidup sebagai penjaga rental DVD, kejadian 2 tahun silam itu tentunya masih ngebekas dan membuat dia sering ngalamin mimpi buruk. Misalnya, dia lagi bercermin tau2 muncul bayangan temennya berlumur darah sambil minta tolong, dan horee..tentunya itu cuma mimpi belaka Image and video hosting by TinyPic

Suatu hari Nina terbangun dari tidurnya, ponselnya berdering. ternyata Mona -temennya- yang menelepon, dengan suara setengah merintih Mona memohon kepadanya untuk datang dan menolongnya.
Nah, didorong perasaan pengen nolong temennya, maka hero-ine kita ini tanpa petunjuk apapun berangkat seorang diri menuju wilayah terpencil Tyrol buat nyari Mona dan nyelesein trauma yang selama ini menghantui. Usaha pencariannya akhirnya mengarahkan Nina ke sebuah 'dysfunctional-family' yang hidup mengisolasi diri disebuah lembah bersalju..selanjutnya, kita udah tau apa yang kemudian terjadi pada Nina hehe


Review :
Sebelum melangkah ke review, gue pengen ngasih sedikit info kalo ini adalah sebuah sequel dari film ber-genre Slasher pertama yang di produksi di Austria. yep, negeri dimana Maria menyenandungkan 'Do-re-Mi' itu, sangat jarang memproduksi film horror. Film2 yang diproduksi Austria lebih banyak bergenre drama, romance, komedi, action atau dokumenter. Mungkin cuaca dingin pegunungan Alpen membuat orang2 sono males bikin film horror apalagi yang berdarah-darah dan memilih bikin drama-romantis buat menghangatkan mereka..hehe hanya analisa ngawur Image and video hosting by TinyPic
Film 'Dead In Three Days 1' dirilis tahun 2006 dan di anggep sebagai film Slasher pertama di Austria, padahal 2 bulan sebelumnya --ditahun yang sama-- juga di produksi film 'Silent Bloodnight' yang juga ber-genre slasher. Namun, film ini jeblok dan media lebih seneng mengatakan kalo 'Dead In Three Days 1' adalah film Slasher pertama di Austria. Mungkin kasusnya sama kaya film 'Rumah Dara' yang diakui bersama sebagai film Slasher pertama Indonesia. padahal sebelumnya ada juga film 'Psikopat' atau 'Air terjun Penganten' hehe. cukup omong-kosongnya..Image and video hosting by TinyPic

..................................................

Satu jam pertama, film berjalan sangat lambat dan membosankan. adegan klise disana-sini. Prochaska keliatan bener-bener berusaha nge-bangun ketegangan dan ngatur tempo, sayang, buat gue usahanya gagal. Satu jam yang sia-sia, suspense nya kaga dapet. Pengenalan karakter Nina sendiri nggak cukup buat gue naro simpati, jadi kalo gue ngeliat Nina, gue cuman ngeliatin wajahnya doang yang cakep Image and video hosting by TinyPic, sementara 'dysfunctional-family' yang diceritain sebagai antagonis juga nggak cukup bikin gue peduli. maksudnya, pas mereka mati satu persatu , kaga ada perasaan " mampus lu! asshole!" seperti apa yang gue rasain ketika ngeliat Krug Cs di bantai dalam ' The Last House On The Left' hehe
satu yang bikin gue batal mematikan film ini adalah shoot-shoot impresif yang di tunjukin ama kameramennya.

dan setelah penantian lama menunggu body-count yang menghabiskan satu bungkus keripik kentang, akhirnya perlahan tensi mulai naik dan gue ngedapetin adegan yang bikin gue bergumam " akhirnyaaaa..."

Penis yang nyaris putus digigit, leher ditusuk, mata dicolok, darah nyiprat dan adegan pembacokan mulai nongol menjadi hidangan penutup film, lumayan menghibur, walau level-nya nggak cukup hardcore buat masuk kategori splatter. hehe. mediocre-gore lah.

Seandainya, nggak ada adegan penis nyaris putus itu, gue berani bilang kalo film Slasher 'pertama' Indonesia 'Rumah Dara' lebih menghibur daripada film ini, itu dengan catatan film 'Rumah Dara' nye kaga di sensor hehehe


yah, pada akhirnya, 'Dead In Three Days 2' akan menjadi salah satu 'another-slasher-movie' yang gampang gue lupain. dia mungkin nawarin sesuatu yang baru buat Austria yang kebanyakan nonton drama, tapi dia kaga nawarin sesuatu yang baru buat 'horror-fan' , dia juga terlalu setia ama pakem film-slasher yang secara nggak sadar di amini untuk wajib ada.

hero-ine,
middle of nowhere,
dysfunctional family,
survival,
bloody-battle,


spoiler


dan diakhiri ama survivor cewe kita yang melangkah gontai dengan berlumuran darah...
kalo sutradaranya cukup PD dan punya rencana bikin sequelnya..tinggal kasi adegan mayat sang evil itu tangannya bergerak-gerak..hehe

tapi sebenernya tetep dengan pakem diatas juga seru sih, asal didalemnya cukup banyak kesebar 'memorable-scene' yang kickass! dan sayangnya, film ini nggak cukup punya 'memorable-scene'.

Walau gitu, tentunya film ini bisa jadi pilihan terakhir kamu ketika semua channel televisi menayangkan debat pansus Bank Century.

..................................................


Rating :
' well done, but its already done before'.
6/10

02 February 2010

MONSTERRRRR!!!



WRITTEN BY 'R'.


Waktu kita kecil tokoh apa sih selain superhero yang bikin kita histeris pas dia nongol di layar tivi atau bioskop? kaga salah lagi,..Monster!

Makhluk ini berukuran raksasa, bentuknya menyeramkan, kepalanya ada 6, bertanduk 20, kakinya ada 8, tangan ada 4 dengan masing2nya dilengkapi cakar sepanjang 10 meter, udah gitu dari mulutnya bisa ngeluarin api yang sekali semprot bisa menghanguskan gedung-gedung bertingkat.

Dengan tubuh bongsor kaya gitu doi berjalan keliling kota, mengaum-aum dan ngancurin apa aja yang di lewatinya. weeeeh..kaga kerasa deh ingus kita meler ampe nyentuh lantai kalo udah liat dia beraksi.

Sekarang kita udah gede, tapi toh kita masih doyan aja liat tuh cacing raksasa ( tremors ), buaya predator ( rogue ), Kingkong, Tyrannosaurus ( jurassic park ), laba-laba raksasa ( eight legged freak ), ular kadut ( anaconda ), Godzilla dll. Sepertinya semua jenis reptil/serangga udah dibikin versi raksasanya deh. coba aja sebut salah satunya hehe apaan? belalang? udaaaah..hahaha
Dan setiap kali pemodal besar rela nge-gelontorin budget kolosal buat mroduksi film yang didalemnya ada raksasa ngancurin kota atau melahap manusia..gue pasti nonton! Daya tarik monster sebagai barang dagangan yang dijamin bisa ngilangin penat inilah yang membuat film2 bertema monster ampe sekarang masih tetep diproduksi.

Monster sendiri makhluk yang akrab hubungannya ama sinema horror. Dia nyiptain kepanikan dan ketakutan sama seperti ancaman yang ditebarkan Nosferatu atau Sundel Bolong, masih keinget gimana dulu gue mengkeret di kursi ngeliat Anakonda nyaplok temennya julia perez eh Jennifer Lopez :D atau ketika Kevin Bacon harus diam mematung supaya kaga dilahap Graboids dalam Tremors, itu momen2 paling entertain dan addicted dalam elemen film horror-monster. so, tinggal masukin aja popcorn kemulutmu, biarin kepenatan mencair dan meleleh keluar dari lubang hidung bersama dengan otak kita yang juga menjadi encer.

....................

jadi, dengan segitu gedenya daya tarik monster, penasaran ga sih kita ama sejarah dimulainya sinema ber genre Monster? hehe


Sejarah mencatat film bisu Jerman 'The Golem' ( 1915 ) adalah film monster yang pertama kali d produksi. Sutradara Paul Wegener mengangkat kisah tentang 'patung-tanah liat-raksasa' yang kemudian dhidupkan oleh seorang penyihir untuk dijadiin pelayan. Sayangnye, monster ini kemudian jatuh cinta ama seorang perempuan, dan ketika cintanya di tolak. monster tanah liat ini menjadi murka. kalo kalian pengen liat kaya gimana wujud dan SFX monster tahun 1915, filmnya bisa di tonton di Youtube :)


film2 monster zaman itu emang masih dipengaruhin karya sastra gothik atau dongeng-fiksi. seperti apa yang diproduksi pada tahun 1931 dimana kisah Frankenstein's diangkat ke layar lebar, disusul 'The Mummy' setahun berikutnya. Tentu 'Nosferatu' nya F.W Murnau ( 1922 ) boleh dimasukin ke list kalo kamu nganggep dia juga monster.


Tapi sebenarnya pada tahun 1925 seorang animator SFX 'Willis O' Brien' udah membuat sebuah film monster yang bukan berasal dari sastra-gothik dengan mengangkat novel 'The Lost World' karya 'Sir Arthur Conan Doyles' ke layar lebar..
Yah dalam film ini, untuk pertama kalinya dunia dikenalin ama monster dari zaman purba yang akhirnya menjadi inspirasi puluhan film monster berikutnya : dinosaurus! Filmnya sendiri lebih ber-genre thriller-action-adventure.
6 tahun kemudian, si 'Willis O' brien' ini juga memproduksi sebuah film bergenre sama dengan judul 'Creation', sayangnye kaga tau kenapa proyek ini ga pernah selesai. sampe akhirnya 2 tahun kemudian, ( tepatnya tahun 1933 ) film ber-genre monster menemukan titik-landasan-terbang nya dengan di tayangkannya sebuah film yang cukup mengguncang pada saat itu : King Kong !! Film ini disutradarai oleh Merian C. Cooper namun SFX nya masih dipegang oleh 'Willis O' brien'.


King Kong menjadi film-monster-tradisional yang sangat terkenal dan disebut2 sebagai landmark buat sejarah perfilm-an ( khususnya genre monster ). Bahkan, kera raksasa dari pulau Kalimantan itu berubah menjadi ikon kultural dan sering di eksploitasi di film2 berikutnya, contohnya ketika Ray Harryhausen membuat 'Mighty Joe Young' pada tahun 1949 ( yang kemudian di remake puluhan tahun kemudian dengan bintang Charlize Theron ). yah, saat itu monster gothik mulai ditinggalkan digantikan fiksi monster raksasa dari zaman purbakala, dan seakan kurang puas, Ray Harryhausen juga meremake film 'King Kong' dengan teknologi yang lebih baik pada tahun 1952.

Pada tahun 1953, monster jenis baru diperkenalkan, dalangnya masih Ray Harryhausen. Filmnya berjudul : The Beast from 20,000 Fathoms



bercerita tentang dinosaurus fiktif 'Rhedosaurus' yang konon membeku di dalam es antartika namun terbangun karena uji coba bom atom.

Tahun ini lah yang ditandai oleh para 'pengamat-monster' sebagai di mulainya film ber genre 'monster-mutasi-radiasi-nuklir-dan-sejenisnya'. Science mulai dilibatkan. yang akhirnya ngelahirin genre baru 'science-fiction-monster'.
nah, di era bom-atom / nuklir inilah kran-kreatifitas para pengkhayal seakan dibuka dengan mengalirnya segala macam reptil/serangga yang berubah menjadi raksasa karena radiasi kimia..hehehe

di bawah ini adalah poster2 filmnya :



Di era 50-an ini juga, Jepang terinspirasi euforia nuklir yang melanda sinema-barat dengan menciptakan monsternya sendiri.
Di jepang, monster lebih populer dengan sebutan ' Kaiju ' dan kaiju jepang yang sangat terkenal, ( sama seperti Kingkong akhirnya menjadi sebuah ikon-kultural ) apalagi kalo bukan..he're we comeee...
GODZILLA!! ( di jepang : Gojira ).



pertarungan abad ini : Kingkong vs Godzilla! Fight!!

Selain Godzilla, kaizu lainnya adalah : Gamera dan Mothra.

kita meloncat ke tahun 70, setelah tahun 60-an ternyata popularitas para monster menurun di hajar The Beatles ama Elvis Presley hehe.
tahun 70-an akan diingat pecinta film horror sebagai tahun dimana monster dari lautan ( Hiu ) menjadi bintang-sinema.
tepatnya tahun 1975 ketika sutradara kesayangan kamu merilis 'Jaws' . Ini mungkin film hiu pertama sekaligus film tentang monster-predator-buas yang 'asli galak dari sononye' alias kaga ada campur tangan radiasi bom-atom segala macem. correct me if i'm wrong.


Dan 4 tahun kemudian imajinasi penulis semakin liar dengan untuk pertama kalinya menghadirkan monster dari planet lain.
Aliens disutradarai oleh Ridley Scott ( 1979 ). setelah film ini pula makhluk2 dari planet lain menginvasi penonton lewat bermacam2 judul film.

Di tahun 80'an, film horror-monster mulai berksperimen dengan memasukkan elemen lain seperti komedi, contohnya bisa kalian temukan di film Larry Cohen's Q, 'the Winged Serpent' (1982) dan Ron Underwood's 'Tremors' (1989/90) yang filmnya udah berkali-kali di puter di Indosiar/Trans TV hehe kocak kan filmnya tuh, meskipun 'Tarantula (1955)' juga sebenernya sangat laughable ( ketimbang nyeremin ) kalo ditonton sekarang :D




Pertengahan tahun 80'an pula terjadi revolusi di industri sinema dengan ditemukannya teknologi CGI ( Computer-Generated Imagery ), sebuah teknologi yang membuat segala jenis monster menjadi mungkin untuk diciptakan, namun disisi lain kehilangan soul dan seni-make upnya. Era akhir SFX-tradisional sebelum CGI ini ngelahirin para master SFX yang akan kita kenang selamanya karena kualitas efek dan ke kreatifitasannya nyiptain monster dari prosthetic atau karet..diantaranya adalah : Rick Baker, Stan Winston, dan Kevin Yagher.

sejak era CGI dimulai ( akhir 80'an--awal 90-an ) segalanya kemudian menjadi begitu mudah , monster2 dahsyat diciptakan, berlalu lalang di layar lebar dan televisi, membuat kita kagum, tercengang.. namun sekaligus mudah sekali dilupakan terganti oleh monster berikutnya yang lebih dahsyat namun --sekali lagi-- sosoknya mudah dilupakan, ( kecuali beberapa film monster yang didukung oleh script dan konsep yang kuat. ).

Dan rasanya setelah nyampe titik ini, udah nggak ada yang perlu diceritain lagi deh hehe


...................................................

Bagaimana dengan Indonesia? punyakah monster untuk di banggakan?
kayanya Indonesia belum sekalipun memproduksi film bergenre monster.
makhluk2 raksasa di per-film-an kita biasanya hanya menjadi 'figuran' , seperti misalnya :


rajawali raksasa tunggangan Brama Kumbara, monster wanita bertubuh ular raksasa : Nyi Blorong, siluman laba-laba raksasa dalam : 'Iblis Teluk Gonggo' atau musuhnya Jaka Sembung, raksasa hijau penghuni gua: Bergola Ijo.
selain itu, gue cuma nemu sebuah artikel tentang rencana pembuatan film monster pertama di indonesia 'Amphibia' yang sampe sekarang nggak jelas juntrungannya.

namun kalo kita pikir-pikir lagi, Indonesia sebenernya sangat produktif membuat film bergenre monster-raksasa bahkan dengan bantuan teknologi CGI mutakhir..

kalo ga percaya,
pantengin aja terus INDOSIAR dan TPI!!

..............................

hahaha semoga artikel diatas cukup bermanfaat agar kita lebih mengenal sejarah 'idol-monster' , untuk kemudian menghormati dan menyayangi-nya. salim dulu sana ama King-Kong!
Selain itu, siapa tahu di lembar soal ujianmu akan keluar soal tentang siapakah pencetus 'era monster-radiasi-nuklir'..nah sekarang kamu tahu kaaan? :D

.....................

di postingan berikutnya, gue akan mencoba mereview film Them! ( 1954 ) dan Kingkong ( 1933 ).

referensi :http://en.wikipedia.org/wiki/Monster_movie




UPDATE!!

Ternyata film monster pertama indonesia judulnya 'Amphibious' dan bakalan dirilis dalam format 3D. Rencana rilisnya tahun ini.
di 'Amphibious' sendiri kita bakal dikenalin ama monster 'setengah kalajengking-setengah lobster' raksasa. Wiiih kaya apaan tuh? hehe okelah, ini teaser-posternya:


STILL PHOTONYA :

Nelayan berambut mohawk mengangkat tubuh yang termutilasi? hmmm..cukup menjanjikan hehe

terima kasih buat Raditherapy atas Infonya
Info Lebih lengkap tentang film ini:
Buaya Film