23 September 2016

Don't Breathe ( 2016 ) : Meraba langkah di kegelapan yang menyesakkan

Barangkali alesan paling besar yang membuat gue bersemangat ama film ini adalah karena nama Fede Alvarez didalamnya. Buat yang belum tau, sutradara asal Uruguay ini udah memberi gue banyak kesenangan lewat remake Evil Dead tiga tahun silam. Sementara itu, cerita dalam Dont' Breathe sendiri bukan sesuatu yang baru, cek postingan blog ini sebelumnya untuk ngeliat film-film laen yang punya ide similiar. Premisnya sangat sederhana, tentang pemilik rumah yang terpaksa harus mempertahankan diri dari penyusup. Yup, thriller home invasion! subgenre ini   menjanjikan thrill-ride seru namun dengan rute yang begitu predictable. Ini sangat riskan dan menurut gue sedikit aje 'sopir'nya salah 'nyetir', film ginian akan dengan mudah nyungsep di selokan. Tapi, hey, ini filmnya Fede Alvarez dan ada nama Jane Levy, Sam Raimi, serta Rob Tapert disana yang kembali terlibat. So, antusiasme gue cukup tinggi. 
 
Jadi folks, ceritanya sederhana aja

 
Sekelompok pencuri remaja Money ( Daniel Zovatto ), Alex ( Dylan Minnette ) ama Rocky ( Jane Levy ) mutusin buat ngerampok rumah yang diatas kertas adalah sebuah target empuk.  Pertama, rumah itu terletak di pemukiman sepi, kedua, pemiliknya diketahui menyimpan sejumlah besar uang, ketiga, dia tinggal sendirian dan jekpotnya adalah..dia seorang tuna netra! Apa yang terasa akan menjadi sebuah perampokan mudah, secara tak disangka berubah menjadi perjuangan survival dimana para perampok amatir ini akhirnya cuma berharap bisa keluar dari rumah itu hidup-hidup. Ya, veteran tua bertubuh kekar ( Stephen Lang ) yang meski buta namun memiliki insting kuat ini bertekad nggak akan ngebiarin itu terjadi.



Review

 

 

Semangat membalikkan stereotip 

 
Apa yang membuat Don't Breathe terasa berbeda  jika dibandingkan film lainnya adalah gimana Fede Alvarez banyak melakukan pembalikan-stereotip dari subgenre ini. Satu contoh, Ini adalah sebuah home-invasion, penonton biasanya diposisikan untuk berada dekat dengan sang tuan rumah, tapi disini kita malah diajak untuk masuk bersama penyusupnya. Film bahkan ngasih tau soal latar belakang dan alesan masing-masing karakternya. Dengan kata lain, meski sejak awal ide merampok orang buta sebatang-kara adalah jelas-jelas perbuatan yang susah untuk mendapat simpati penonton, naskahnya berusaha ngasih alesan agar kita memaklumi tindakan mereka. Rocky misalnya, ngelakuin ini demi bisa membawa pindah adik perempuannya ke tempat yang lebih baik, Money ingin ngerubah idupnya, sementara Alex selalu ngingetin untuk ngindarin kekerasan dan ngambil secukupnya. 
 
Di sisi lain, kita ternyata cuma dikasih tau sedikit-sedikit tentang pemilik rumahnya. Yap, doi adalah veteran tuna netra yang idup sebatang kara paska meninggalnya sang puteri karena sebuah kecelakaan. Udah, gitu doang. Tapi, ini rasanya cukup untuk membuat gue nggak meduliin justifikasi maling-maling kecil diatas dan mutusin untuk berada dipihak si buta.

 
Film kemudian bergulir, si buta yang gue kira lemah ternyata ngelawan balik tanpa ampun, dia menjadi seperti monster-predator sementara malingnya malah menjadi curut-curut yang tersudut. Antagonisnya jadi victim dan protagonis nya terasa seperti villain. Jumpscare justru tercipta dari kemunculan si pemilik rumah yang tiba-tiba, seakan dia adalah Xenomorph atau makhluk goa dalam The Descent. Kebalik-balik.



Kemana harus berpihak?

 
Gue pun kembali ngalamin dilema harus ngedukung ( rooting ) di pihak mana. Setelah dipikir-pikir, si buta memang sedikit lepas kontrol, tapi gue tetep pengen ngeliat bocah-bocah brengsek ini mendapat ganjarannya. Asli men, ngerampok orang buta sebatang-kara tuh beneran ngga bisa di maafin, dan mereka layak mendapat balesan. Tapiii gue ngerasa naskahnya sekali lagi seperti dibuat agar penonton menjadi peduli dengan nasib mereka. Bahkan kalo diperhatiin, judulnya aja udah ngasih tau itu. Jangan bernafas. Kenapa jangan bernafas? jelas, supaya maling-maling ini selamat dari teror si pemilik rumah. Pada titik ini gue pikir film berhasil membuat sebagian besar penonton berbalik berada di pihak para penyusup. Indikasinya terlihat dari audiens yang  menjerit ngeri dan ikut menahan nafas ketika nyawa para penyusup diujung tanduk, yang lain bertepuk tangan menyemangati agar mereka berhasil lolos dllsb sementara, gue sendiri garuk-garuk kepala ngerasa telah ngelewatin sesuatu karena justru pengen ngeliat mereka semua mati.

 
Lalu muncul twist di paruh ketiga film, ngasih tau tentang sisi gelap si buta yang sekaligus memaksa gue untuk kembali meninjau ulang simpati untuknya. Shit, sampe sini sadarlah gue Fede Alvarez dan co-writer Rodo Sayagues emang  berniat membuat penonton mengalami dilema dan berpindah ngasih dukungan ( switch rooting ) di sepanjang film. Mereka menghindari stereotip di subgenre ini dimana biasanya kita akan dikondisikan untuk mendukung penuh sang pemilik rumah dan membenci penyusupnya. 


Bermain di zona abu-abu


Dalam Don't Breath, Alvarez sengaja membiarkan semua karakternya ( para penyusup dan pemilik rumah ) terasa ambigu secara moral.  Pada bagian pertama, kita hanya diberi sedikit pengetahuan tentang mereka. Di paruh kedua, film sedikit demi sedikit menguak fakta, dan di bagian akhir, Alvarez malah ngebebasin penonton untuk menilai. Sementara itu, bates antara bener dan salah pun menjadi kabur karena semua karakter punya alesan kuat atas tindakannya. 
 
Ketimbang mengadu warna hitam dan putih kaya yang biasanya film laen lakuin, Alvarez milih untuk nyampurin keduanya dalam sebuah gelas, kemudian ngebolak-baliknya, ngaduk-ngaduk itu sampe kita ngga bisa bedain lagi yang mana yang item dan yang mana yang putih. Sebagai gantinya, akan ada warna baru yang muncul, dan harapannya audiens akan dibuat tertegun ( shock ) dengan pikiran masing-masing.

 
Gue pikir itulah ide Fede Alvarez dan penulis naskah Rodo Sayagues.

 
Tentunya nggak ada yang salah dengan inovasi, hanya saja tiap pilihan memiliki resiko. Dan menurut gue, membuat film 'abu-abu' seperti ini resiko nya adalah bagian ending yang menjadi tidak memiliki klimaks-emosional. Ambil contoh, dalam The Last House On The Left dimana sejak awal gue udah bisa ngebenci villainnya ( Krug cs ), klimaks-emosional terjadi ketika sang protagonis akhirnya ngelawan balik dan mulai ngebales dendam. Ada kepuasan ngeliat karakter yang gue benci akhirnya mendapat ganjaran. Nah, hal itu nggak terasa disini karena di sepanjang durasi gue terus meraba-raba kemana harus ngasih dukungan.

 
Fede Alvarez gue pikir menyadari resiko pilihannya ini, hanya saja dia nggak peduli. Don't Breathe sepertinya memang berniat memberi sajian thriller home-invasion  dengan sensasi berbeda, dan jika memang demikian, maka dia berhasil.  

 

 

Ketegangan nonstop yang menyesakkan


Jangan salah, ini emang thriller solid. Fede Alvarez berhasil menciptakan ketegangan yang mencekik dengan maksimalin potensi yang dimiliki elemen kuncinya : ruang sempit, karakter cacat fisik, serta kegelapan. Ide ini didukung pergerakan kamera Pedro Luque yang mampu menjelajahi dan memanfaatkan semua ruang, sudut bahkan celah kecil untuk dijadikan arena bermain hide and seek dengan sensasi klaustrofobik nan menyesakkan. 
 
Temponya sendiri sangat ketat, tidak pernah mengendur sejak menit-menit awal sampai penghujung durasi, Alvarez seakan nggak ngasih kesempatan penonton untuk sekedar mengatur nafas. Nonstop thriller! 

 
Dan seperti judulnya, disini beneran ada momen dimana audiens gue liat ikut menahan nafas karena sadar konsekuensi buruk yang akan dialami karakternya jika ada satu saja helaan nafas terdengar oleh si buta. Bagian ketika sinematografinya berubah ke mode night vision, akan ngingetin kamu pada adegan akhir di Silence Of The Lambs, saat Clarice Sterling harus berhadapan dengan Buffalo Bill di sebuah ruangan tanpa lampu. Inget kan? nah, seperti itu. Alvarez cukup piawai memanfaatkan momen ini, meski sedikit klise, tapi gue catet dibagian inilah beberapa penonton menjerit begitu keras. Gue sendiri hanya tersenyum geli hehe bukan apa-apa, ngeliat respons berlebihan orang lain di sebuah film thriller/horror tuh jadi hiburan tersendiri buat gue hehe.

 
Beberapa plothole yang cukup tricky ( dan sepertinya sengaja dimasukin kedalam skrip untuk menambah ketegangan) terdeteksi jelas beberapa kali. Tapi, untungnya nggak jadi masalah besar karena ketutup ama tensi film yang sangat ketat . Buat gue, tricky-plothole  ini kaya pelanggaran-pelanggaran dalam sepakbola. Cukup mengganggu dan curang, tapi kadang malah menambah drama dalam pertandingan.

 
Stephen Lang tampil memukau disini. Dia tidak hanya terlihat badass dan intimidatif dengan wajah keras dan tubuh kekarnya, namun disisi lain juga terlihat kesepian, sedih dan putus asa. Dia menjadi monster kejam di satu momen, lalu kembali menjadi orang tua yang patut dikasihani di momen lainnya. Sementara itu Jane Levy seakan mengulang perannya di Evil Dead dimana dia banyak menampilkan ekspresi wajah panik. Dia juga berhasil menghidupkan karakter ambigu, dimana kemungkinan lu akan ngebencinya atau malah berharap dia selamat. Tapi secara umum, tugasnya sedikit lebih ringan karena tidak perlu disiram seember darah palsu, diperkosa akar pohon atau dikubur hidup-hidup.


Overall


Don't Breath dibuat dengan semangat membalikkan-stereotip di subgenre home-invasion yang bertujuan menghasilkan sensasi berbeda. Ini adalah sebuah eksperimen yang cukup berani dan layak mendapat apresiasi. Meski gue punya keluhan dengan ide bermain di area abu-abu yang mengakibatkan konklusi ceritanya menjadi terasa kurang memuaskan, secara keseluruhan ini adalah sebuah thriller solid dengan teknis dan presentasi visual menakjubkan. Sajian ketegangan tanpa henti nan penuh kejutan yang berhasil ngasih tau apa yang bisa dilakukan seorang Fede Alvarez tanpa prostetik dan galonan darah. 
 
Bersama Green Room nya Saulnier, Don't Breath dengan mudah masuk jajaran film thriller terbaik 2016. 


SCORE

8 comments:

  1. menurutku waktu ngeliat endingnya, feeling-nya hampir mirip-mirip waktu ngeliat ending The Guest-nya Adam Wingard...

    ReplyDelete
  2. Stephen Lang is effin' Daredevil! Tetep lebih ngasih simpati ke karakter The Blind Man, karena dari awal juga bukan dia yang nyari gara-gara. Twist kecil di paruh ketiganya emang cuma buat ngasih kesan ke penonton supaya mikir-mikir lagi kalo mau bersimpati ke The Blind Man. Tapi, hey, die ngelakuin itu cukup beralasan berhubung idupnya udeh sedemikian menderita. Lagian dari tiga penyusup, yang dikasih simpati cukup Rocky aja berhubung Jane Levy yang maen. Sisanya laki semua gak usahlah. Biar diurus The Blind Man. Ha ha ha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo diinget inget gue malah kesel ama Rocky secara dia ngambil semua duit si buta, dan gue sempat berharap ada scene tambahan yg nunjukin si buta terus ngeburu Rocky..yang kasian sbnernya si Alex, dia lebih keliatan ky remaja polos yg kejebak ama pilihan buruk temen temennya hehee...sepakat sih, meski sempat mikir-mikir simpati gue cenderung lebih ke si buta, itu knpa gue bilang endingnya terasa kurang memuaskan...

      Delete
  3. Ngomong-ngomong, blog ini dibangkitin terus, please. Jangan mati suri kayak kemaren. Bikin ane cukup seneng, lho, begitu tau blog ini dan punya Zombem ada tulisan barunya lagi. Review Don't Breathe-nya ngasih perspektif yang menarik, ketimbang komen-komen awam yang cuma bilang "menegangkan" secara ngebosenin.

    ReplyDelete
  4. Yooo...kmbangin trus bro ni blog...lo pnya wrna trsendiri, suangarrr😆

    ReplyDelete
  5. Baang apakabaar? tiba2 nyasar kesini.. Gw dari Sayabukanpsikopat, masih ingat? mungkin bang ringo atau rijon ya masih inget? hehe udah lama lama lama banget gak ngereview film thriller. dan ngebaca blog horrorsekarepdewek tambah okee banget review nya masih selalu oke hehe.. Don't Breath keren, dan setuju banget kita dihadapkan pada dilema mau ngedukung siapa, penyusup kah, atau si blind man. endingnya tapi akhirnya ngerti harus berpihak ke siapa hahaha.. suksees terus.. Seneng banget bisa nyasar kesinii..

    ReplyDelete
  6. wah sayabukanpsikopat ingetlah fibongnacci kan ya hehe tidak terasa ya udah satu abad hehe. thanks yap..btw, jadinya dukung siapa nih diendingnya? sering sering aje nyasar ye hehe

    ReplyDelete