Buat yang belum tau, green room adalah sebuah ruangan/kamar di belakang panggung/venue/studio yang di sediakan untuk performer sebelum mereka tampil.
Nah, dari kata kunci green room inilah, Saulnier mulai nge-develop ceritanya.
Btw, sekilas info Saulnier memang pernah menjadi bagian dari skena hardcore/punk di Virgina pada tahun 90an. Dia menghadiri banyak gigs, jatuh cinta dengan estetika dan energi musik hc/punk, dan bahkan bergabung dalam sebuah band ( No Turn On Fred ). Gue duga Saulnier mendapatkan ide tentang Green Room ini ketika band nya sedang menunggu waktu manggung di kamar tunggu sebuah venue gig. Dan ide itu terus berkembang liar.
Dalam sebuah wawancara, Saulnier mengaku bahkan sudah pernah membuat pilem pendek micro-budget ( untuk sebuah festival kecil ) yang mengambil setting sebuah green room. Ceritanya konon tentang sebuah ben heavy metal yang muter musik secara kebalik dan nggak sengaja malah ngebangkitin iblis-iblis ( laaaaah malah mirip 'Deathgasm' yaa haha ).
Singkatnya, Saulnier terus bermain-main dengan ide tentang green room ini disela-sela kesibukannya menggarap Blue Ruin. Nah, ketika akhirnya Blue Ruin tak disangka mendapat banyak apresiasi positif yang membuat kapabilitas Saulnier sebagai seorang sutradara mulai diakui, pintu kesempatan untuk bisa merealisasikan ide yang udah lama mengendap di benaknya itu pun terbuka lebar.
Nah, asiknya nih, dengan kesuksesan Blue Ruin ini, Saulnier sebenarnya bisa aja menerima tawaran studio besar dan membuat film komersil, tapi, doi malah memilih untuk tetap membuat film berskala kecil yang menjamin dia tetap bisa menuangkan ide, kreatiftas dan bersenang-senang didalamnya. Applause panjang.
Ide tentang green room pun kembali di olah Saulnier, dan inilah hasilnya :
Storyline
Sebuah band hardcore/punk Ain’t Rights yang beranggotakan Pat (Anton Yelchin), gitaris Sam (Alia Shawkat), drummer Reece (Joe Cole), dan vokalis Tiger (Callum Turner) sedang menjalani tur kecil mereka dengan sebuah van butut.
Setelah merasa ditipu karena diajak maen di sebuah restoran meksiko dengan bayaran yang bahkan nggak cukup untuk sekedar membeli bensin, Ain’t Rights akhirnya mendapat sebuah kesempatan untuk maen di sebuah gig besar di daerah terpencil Portland.
Hal yang harus mereka ketahui, gig itu ternyata di organisir oleh komunitas skinheads neo nazi. Sebagai sebuah band punkrock nihilis, Ain't Rights jelas memiliki ide yang berbeda dengan para skinhead sayap kanan, dan itu membuat mereka tidak terlalu antusias maen disana. Tapi setelah nginget kalo mereka sangat membutuhkan uang cash untuk beli bensin, akhirnya Ain’t Rights menyetujui tawaran itu.
Horror mulai terjadi ketika Pat secara tidak sengaja memergoki sebuah pembunuhan di green room. Para skinheads, dipimpin oleh Darcy Banker (Patrick Stewart) segera mengurung dan mengepung semua personel Ain’t Rights di ruang tunggu venue, mereka jelas tidak punya rencana untuk membiarkan para punkrocker ini keluar hidup-hidup. Selain untuk menghapus jejak pembunuhan itu, juga agar rahasia yang mereka simpan di ruang tersembunyi di bawah ruang green room tetap terjaga kerahasiaannya.
Yeah, thriller ruang sempit yang intense pun mulai bergulir.
geng skinhead sayap kanan |
Review
Sebuah review mengatakan kalo ini adalah pilem tentang bentrok punk vs skinhead neo nazi. Nihilisme versus fasisme. Ini jelas keliru. Karena meski Ain’t Rights sempat dengan songongnya membawakan kover lagu ejekan dari Dead Kennedys 'Nazi Punks Fuck Off' !, ( ini sih sama aja kaya bawain 'Puritan' nya Homicide di kandang FPI hahaha ) tapi respon yang mereka dapatkan nggak lebih dari cacian, ludahan dan lemparan botol bir saja. Abis itu crowd udah terlihat asik ber-slamdancing.
Adegan di moshpit ini sendiri di shot secara spesial dengan efek slo-mo dan iringan musik ambience yang tenang, selain membuat sequence ini terasa cantik, secara aneh juga berhasil ngasih tau gue untuk bersiap-siap kalo sebentar lagi segala kekacauan akan meledak.
Hardcore punkrocker versus skinhead neo nazi
Btw, di lingkup lokal sendiri, skinhead emang bagian dari punk movement. Kebanyakan skinhead yang gue kenal adalah mereka yang terinfluence semangat working class pride, beberapa lagi yang sok nasionalis, lalu ada beberapa juga yang malah seorang anarkis dan banyak terlibat aktifitas kekirian. Kalo skinhead neo nazi lokal belum pernah nemuin, emang ada ya? terus slogannya apa? brown supremacist? hehe
Nah, berbeda ama skena di amrik sono ( khususnya di era 90an ). Menurut Saulnier, komunitas skinhead neo nazi kerap terlihat berada di antara mereka, lengkap dengan logo swastika, bendera konfederasi dan slogan-slogan rasisnya. Dia heran gimana komunitas dengan ideologi dan struktur yang berbeda ini bisa menjadi bagian dari skena. " They were like soldiers. They had relations with outside gangs and criminals activities " kata Saulnier. Meski disana juga ada SHARP (Skinheads Against Racial Prejudice ) --subgenre skinhead yang menolak rasisme/neo nazi--, tapi perjumpaannya dengan komunitas neo nazi dan elemen bahayanya ini terus nyantol dikapala, dan kayanya menjadi inspirasi kala menggarap Green Room ini.
Kembali ke review,
Dead Kennedys! |
Jadi folks, meski ada sedikit insiden, secara umum Ain’t Rights sukses mengakhiri penampilannya, mereka mendapat upah manggung seperti yang dijanjikan dan bersiap-siap pulang. semua nyaris berjalan lancar, sampai kejadian di green room itu tiba-tiba berekskalasi secara cepat menjadi thriller intens.
So, dibalik balutan setting underground-punk yang kental, sebenarnya ini adalah sebuah siege thriller kriminal ruang sempit biasa.
Kemudian dengan formula klasik ' wrong people in the wrong place at the wrong time', Saulnier mereplace template protagonis ( calon korban ) yang biasanya adalah mahasiswa/pelancong versus psikopat/monster, dengan sesuatu yang baru gue liat di subgenre spesifik ini : hardcore punkrocker versus skinhead neo nazi!
Pros
“You’re trapped – that’s not a threat, just a fact,” Darcy mengintimidasi para personel Ain’t Rights yang panik dan membarikade dirinya didalam green room, mengancam bahwa semuanya akan menjadi “won’t end well” jika mereka tidak menuruti perintahnya. Dari sini ketegangan mulai dibangun dengan tensi yang terus naik, lalu secara sporadis pecah oleh aksi kekerasan random yang terjadi secara mendadak dan membuat atmosfir ketidakpastian semakin pekat. Penonton akan menduga-duga hal lebih buruk apa yang bisa terjadi selanjutnya?
Ide seperti ini sebenarnya sesuatu yang udah pernah kita liat dari film-film macam Panic Room, Straw Dogs atau Assault on Precinct 13, hanya saja Green Room nggak ragu untuk tampil lebih hardcore dengan nunjukin eksplisit on-screen violence, yang meski tidak terlalu banyak tapi ditampilkan dengan efektif dibagian yang emang ngebutuhin itu.
Hal lain yang menurut gue keren adalah ketika ketegangan memuncak, Saulnier dengan cerdas memanfaatkan dengingan noise feedback microphone yang tergeletak sebagai backsound, membuat suasananya terasa seperti berada di panggung pertunjukan musik punk yang sedang chaos.
Patrick Stewart, si botak yang udah lekat dengan karakter kapten Picard di serial Star Trek mencuri perhatian dengan perannya sebagai pentolan neo nazi ( Darcy ). Dia lah otak dari semuanya. Pengaruh dan ancaman Darcy sangat kuat terasa kapan saja dia terlihat di layar. Dingin, cerdas, penuh strategi dan jelas udah berpengalaman ngadepin urusan seperti ini sebelumnya. Menarik mengetahui fakta (Alm) Anton Yelchin yang juga dikenal karena perannya di Star Trek ( Chekov ), bertemu lagi dengan 'kapten Picard' dalam wujud white supremacist leader hehe. Btw, dia ( Yelchin ) juga bermain bagus sebagai bassis ben punk yang terlihat nervy.
Patrick Stewart tampil impresif sebagai pentolan neo nazi. Salah satu best antagonist di 2016. |
Cons
Sayangnya, karakter lainnya terasa sketchy dan kurang mendapat porsi sebesar Yelchin, imbasnya emosi gue terasa flat begitu ngeliat mereka satu persatu mengalami nasib buruk di tangan para skinhead. Satu karakter bahkan mudah terlupakan dan sepertinya di masukin ke plot cuma buat nambah body count. Begitu juga dengan karakter Amber ( Imogen Poots ), Saulnier mestinya bisa ngasih sedikit lagi sentuhan untuk membuat karakter ini lebih dipedulikan.
Sebagai sebuah thriller ruang sempit, Green Room terasa fantastis di 2nd act nya. Penyanderaan, negoisasi dan pengepungan yang berakhir dengan kekerasan random disajikan dengan tempo yang cepat dan ketat. Sayangnya, pilem ini mulai kehilangan sense of dread, begitu tiba di bagian 3rd act. Bisa dibilang, Saulnier keteteran ngebungkus cerita ketika membuat karakternya melakukan hal konyol di menjelang akhir. Gue nggak masalah dengan pilihan ini sebenernya, hanya saja itu terasa nggak nyambung ( disconnected ) dengan bagian 1st dan 2nd act nya.
Overall
Meski dengan dua kelamahan diatas, ( undelevoped characters dan bagian 3rd act yang agak disconnected ), Green Room tetap menjadi salah satu thriller-splatter-ruang sempit terbaik yang gue tonton di tahun 2016.
Saulnier berhasil mengadopsi semangat musik punk yang tanpa basa basi, keras, cepat, dan mengandalkan akord 3 jurus, kedalam pilem ini untuk menghadirkan raw energi dari setting underground dan menciptakan sebuah gig dari neraka yang melibatkan banyak ketegangan dan kematian. Ini adalah moshpit penuh darah dan tulang patah, juga anjing-anjing ganas yang penuh gairah mencacah.
Green Room adalah penegasan kalo Jeremy Saulnier bukan saja filmmaker muda berbakat, tapi juga berkah untuk subgenre spesifik yang memilih untuk tetap membuat pilem berskala kecil dengan penuh passion dan daya kreatif, tatkala kesempatan untuk membuat film komersil dari studio besar terbuka lebar.
Kudos, Saulnier!
SCORE |
No comments:
Post a Comment