Btw ini juga membuat gue punya ide untuk menambahkan menu 'request' di blog ini, dimana nantinya pembaca bisa nulis request disitu, dan gue akan mencoba memenuhinya. Gimana tuh idenya para penontoooon ??
..........
krik krik
*sunyi senyap
Oke, baiklah.....
........
REVIEW
Dibuka ama adegan kereta kuda melintasi daerah angker ( juga penampakan wanita bergaun hitam memegang 3 ekor anjing besar) yang sangat similiar ama sekuens opening dan satu adegan di Mario Bava's Black Sunday (1960 ), gue sempat mengira kalo ini cuma versi lebih buruk ( rip-off ) dari film itu. Namun, ketika film bergulir, Curse of the Crying Woman ternyata memiliki alur yang lebih enak untuk diikuti, seenggaknya sampe 30 menit pertama hehe.
nggak dijelasin kenapa hantu wanita yang menangis ini malah nggak punya bola mata |
Tapi pertanyaan besarnya belum terjawab? apa maksud bibi Selma mengundang Amelia datang setelah sekian lama tak berjumpa?
Di film modern, jawaban misteri itu biasanya akan di taro di bagian akhir atau disimpan untuk diolah menjadi twist. Tapi entah kenapa, kebanyakan film gothic-klasik yang gue tonton suka nyeritain bagian yang sebenarnya bisa jadi salah satu poin menarik itu dibagian awal ( yang membuat film kemudian kehilangan misterinya ) dan terlihat nyaman dengan hanya mengandalkan pada suasana ( atmosfir ) seram saja. Mungkinkah ini karena kisah2 dalam film gothic banyak diambil dari literatur abad ke-18 atau legenda setempat yang kisahnya udah diketahui masyarakat sehingga tak ada gunanya juga nyimpen itu untuk menjadi misteri utamanya? Atau bisa juga karena konon menurut William Patrick Day ( penulis novel gothic ) " Gothic menggoda kita dengan rasa takut, terutama bukan lewat plot, karakter, atau dialognya tapi lewat atmosfir/spectacle ". Nah, bisa jadi hehe.
Itulah yang juga diterapkan dalam film ini : memusatkan diri pada atmosfir. Dan Curse of the Crying Woman memang mampu menyajikan terornya dengan baik terutama berkat atmosfir gotiknya yang sangat kental dan efektif. Kalian akan ngeliat elemen2 khas film gotik klasik seperti pohon-pohon yang mengering dengan cabang2 menjulur, asap/kabut, rumah tua, cermin besar, lukisan, lorong/ruang rahasia, sarang laba-laba, kelelawar, kutukan, penyihir, tengkorak, eerie music ( biasanya menggunakan Theremin ), pencahayaan yang temaram dll yang semuanya dibalut feel yang terasa murung. Alurnya sendiri cukup ketat dengan narasi yang terus berjalan maju, ngasih perasaan thrilling yang membuat mood menonton gue terus terjaga.
Sayangnya, kaya yang udah gue bilang diatas, film kemudian terasa melepaskan 'cengkeramannya' dari mulai menit ke 30 ketika Selma membeberkan alasannya mengundang Amelia. Itu rupanya berhubungan dengan kutukan turun temurun dalam keluarga juga praktek ilmu hitam yang Selma pelajari dalam usahanya membangkitkan kembali iblis La Llorona.
Nah, dari sini misterinya perlahan menguap dan alurnya menjadi begitu lurus dan terprediksi. Ya, Kehilangan misteri, film kemudian menjadi sepenuhnya bertumpu pada atmosfir dan urban-legendnya saja. Ini menjadi masalah lain buat gue. Maksud gue gini, Curse of The Crying Woman mengandalkan horrornya lewat dongeng 'La Llorona' yang kisah seramnya sudah menempati alam bawah sadar masyarakat Meksiko. Pendeknya, lu baru nyebutin namanya aja, orang sono mungkin udah merinding. Maka, ketika kisah itu kemudian diadaptasi kedalam sebuah film yang menampilkan banyak gambar2 dan suasana seram ( spectacle ), sudah cukuplah itu menjadi tontonan horror yang berhasil ( seenggaknya untuk rakyat Meksiko di era itu ). Tapi, buat gue orang Indonesia yang nggak familiar dengan mitos dan legenda mereka ( dan lebih akrab ama dukun, kemenyan, jum'at kliwon serta sundel bolong ), tentu efek yang dihasilkannya nggak sama.
Intinya gue pengen bilang, kalo aje misteri dalam film ini ( atau apalah yang membuat rasa penasaran terus ada ) terus dipertahankan sampe akhir, sajiannya tentu akan menjadi lebih gripping, seperti yang udah dilakukan Roger Corman's Tomb of Ligeia atau Michael Soavi's Dellamorte Dellamore.
Tapi, jangan khawatir dibagian akhir kalian akan melihat adegan final yang cukup intense ( dan konyol haha ) berupa perkelahian antara Jaime dan Juan dengan koreografi yang lebih mirip adu gulat bebas ( Lucha Libre ) yang sedang sangat populer dan sempat menjadi bagian dari sinema horror & eksploitasi di Meksiko saat itu.
Overall,
Buat penonton film era smartphone dan gadget canggih yang udah memiliki standar baru, kemungkinan besar Curse of the Crying Woman akan terasa seperti kembali make Nokia 3310. Kuno, menggelikan dan membosankan. Tapi inget, pada masanya itu adalah salah satu ponsel yang berhasil.
Sama halnya dengan film ini, meski kalo dilihat sekarang terasa konyol, gue bisa ngerasain kalo di awal 60-an, ini adalah salah satu produk esensial sinema horror Meksiko yang berhasil ngasih sensasi tersendiri untuk audiensnya. Memiliki banyak elemen dari sinema gotik klasik nan eerie, film ini juga seperti katalog dari begitu banyak teknik/trik filmmaking ( pra-CGI ) yang sederhana namun efektif seperti trik shock zoom, make-up karet, transformasi dari kelelawar menjadi manusia, miniatur, efek pencahayaan, pantulan cermin, dll yang semuanya berhasil memiliki momennya sendiri dalam film.
Secara keseluruhan, buat gue personal sih ini kurang serem, tapi nggak bisa dikatakan jelek. Keluhan gue hanya pada hilangnya misteri yang terlalu cepat, dan itu bisa dimaklumi sebagai pilihan style sinema gotik klasik yang lebih mengandalkan spectacle.
No comments:
Post a Comment