14 December 2014

The Raid 2 : Berandal

Written By 'R'

Gue sebenernya langsung nulis review film ini sejak keluar dari bioskop di hari pertama pemutarannya. Tapi tumpukan pekerjaan membuat tulisan terhenti ketika baru nyampe 80%. Bulan demi bulan berlalu,  euphoria film ini mulai turun, kemudian gue ngerasa nggak perlu nerusin nulis reviewnya. Lagipula, bukankah akan sangat telat kalo gue mostingnya sekarang?

tapi, kemudian gue mikir lagi, gue ngerasa telat mosting review The Raid 2,tapi kenapa gue nggak ngerasa telat pas ngereview film film jadul tahun 40-an?? hehe


Jadi bro, gue akhirnya ngebuka kembali file review setengah jadi itu, menyelesaikannya, kemudian langsung mostingnya disini.

Ini dia.

....................


Satu pertanyaan menyelinap di benak gue sehabis nonton pilem ini. Kenapa subjudulnya Berandal? bukan apa-apa, gue nggak ngeliat satupun berandal keliatan di pilem ini, kalo diinget2 gue malah lebih banyak nemuin banyak berandalan dalam The Raid 1 : Redemption. Ya, preman pasar, penjahat liar, bajingan ugal-ugalan dan pembunuh brutal dalam pilem pertamanya menurut gue lebih pantes di sebut berandal. Lebih jauh, gue juga nggak nemuin adegan penyerbuan ( The Raid ) dalam The Raid 2.

Baiklah, skip aja pertanyaan nggak penting diatas hehe

Kita, langsung aja ke poin poin pentingnya :


Plot 

Berbeda jauh ama predecessornya yang ceritanya masih bisa diikuti bahkan jika semua karakternya nggak ngomong, The Raid 2 : Berandal yang ide ( juga koreografinya ) konon udah digodok lebih dulu sebelum pilem pertama, terasa lebih ambisius dengan plot kompleks dan banyaknya karakter. Ya, ini emang proyek impian Gareth Evans yang tertunda. Awalnya, 'Berandal' konon diniatkan sebagai pilem yang berdiri sendiri, namun ketiadaan budget menjadi masalah. Maka, Gareth kemudian malah membuat The Raid : Redemption dengan dana minimal. Kaya yang kita tau, pilem kecil ini ternyata sukses besar. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, diputuskan untuk memodifikasi cerita Berandal agar bisa menjadi sekuel dari The Raid : Redemption.

Langsung aja,

Setelah berhasil keluar hidup-hidup dari apartemen neraka Tama, bahaya masih belum selesai mengikuti Rama ( Iko Uwais ). Atas desakan kepala satuan khusus anti korupsi, Bunawar ( Cok Simbara ), Rama Sekali lagi harus menyusup ke dalam jaringan kriminal papan atas untuk membongkar semuanya sampai tuntas ( terutama untuk mencari bukti dan menyeret keterlibatan polisi korup Reza -Roy Marten- yang disinyalir adalah dalang dibalik semua peristiwa tragis di apartemen Tama ). Jika tidak , maka nyawa keluarga dan dirinya akan selalu terancam. 

Untuk ini, Rama harus menyamar dan mendekati Uco ( Arifin Putera ) , putera Bangun ( Tio Pakusadewo ), salah seorang godfather yang menguasai sebagian dunia kriminal bawah tanah kota Jakarta. Rencananya tidak berjalan sesederhana itu ketika Rama ( sekarang mengganti nama menjadi Yuda ) menyadari kalo Uco mempunyai ambisi besar. Dia mau ngelakuin apa aja buat memicu perang dengan keluarga Goto-Gumi ( keluarga Yakuza yang menguasai satu bagian kota lainnya ) demi mendapatkan kekuasaan miliknya sendiri.

Sementara itu, ada Bejo ( Alex Abbad ) disana,  gangster pendatang baru yang mencium ambisi Uco dan nunggu kesempatan buat manfaatin keadaan.

Rama ( atau Yuda ) sekali lagi terjebak, bukan lagi dalam gedung apartemen sempit, tapi dalam konflik skala besar yang ngelibatin 3 jaringan kriminal bawah tanah kota Jakarta.

Nah! Plotnya kedengeran rumit yah, tapi sebenernya nggak se kompleks itu kok, sangat simple malah. Kalian yang familiar ama sinema triad Hongkong era 90-an, pastinya udah sering ngeliat ginian. Yang diperlukan cuma sedikit konsentrasi, mengingat ( nggak kaya The Raid 1 ) satu jam pertama durasi pilem ini banyak diisi dialog buat ngebangun cerita ama ngenalin karakter. Bagian ini mungkin menjadi catatan buat Gareth Evans ketika dia terkesan memaksakan plot dan semua karakter barunya datang silih berganti ke dalam durasi singkat. Apalagi, konon ada beberapa adegan yang dipotong. Tak ayal, ini membuat pilem terasa melompat dan terburu-buru.  Imbasnya, jika audiens kurang konsentrasi dan gagal menangkap jalan cerita sebentar saja,  kemungkinan besar hingga credit title muncul dia akan tetap bertanya-tanya. 

Teman gue yang mempunyai referensi pilem jauh lebih banyak dari gue sampai gagal memahami apa sebenernya penyebab kerusuhan di lapangan berlumpur penjara itu, apa pentingnya karakter Prakoso untuk cerita, kenapa Hammer Girl menyerang pria dalam kereta, Siapa pria yg dibunuh Baseball Bat Man, apa arti tatto Bejo, apa peran Roy Marten dll hingga akhirnya menyimpulkan The Raid 2 hanya sekedar pilem gaya-gayaan yang merayakan kekerasan dalam bingkai ketrampilan sinematografi tanpa kejelasan jalan cerita. wtf!

Naro plot untuk The Raid 2 emang seperti milih pedang bermata dua. Di satu sisi, jika Gareth tetep mertahanin konsep minimalis The Raid 1 dan hanya mindahin settingnya ke gedung tertutup yang lebih besar dan tinggi, ini akan ngelestariin 'sindrom sekuel buruk', dimana pilem ke 2 di cap minim kreatifitas dan terkesan hanya ngejar keuntungan dari popularitas pilem pertama belaka.  Di sisi lainnya, nyoba keluar dari sindrom itu dengan ngasih sesuatu yang berbeda juga nggak segampang itu. The Raid 1 di puja justru karena kesederhanaannya. Dia bagai serangan punk rock akord 3 jurus yg simple, cepat , padat , kasar, namun penuh energi. Nyaris tanpa plot dan ngebuang jauh-jauh tetek bengek pengenalan karakter. Ngerubah ini, mungkin akan membuat pemuja The Raid 1 kecewa.
Tapi, bagaimanapun satu sisi harus dipilih.

Dan buat gue, Gareth udah tepat dengan pilihannya. 


 Keluarnya Rama dari gedung sempit Tama dan berpindah ke scope yang jauh lebih besar, mungkin membuat intensitasnya berkurang, tapi ini membuat Gareth Evans akhirnya ngedapetin kesempatan luas buat mengumbar semua imajinasi dan obsesinya. Dari kebut2an mobil, perkelahian massal di penjara sampe karakter2 fantasi yang gue yakin udah lama berada dalam kepalanya. Kaya yang gue bilang, yang diperlukan hanya sedikit atensi dan konsentrasi, karena sekali aja kamu 'get the point' , semuanya akan terasa sederhana dan berjalan lebih mudah.  Gue takjub bagaimana durasi 2 jam 30 menit menjadi tidak terasa. Ya, gue emang berkali-kali ngecek jam tangan, tapi itu buat mastiin kalo pilem belum akan berakhir. 

Jadi, jika menonton The Raid 1 rasanya seperti nonton gig punkrock kecil yang raw dan fun,  menonton The Raid 2 lebih seperti nonton konser metal dengan tata lampu, sound dan panggung yang jauh lebih megah, juga dengan materi musik yang lebih berat, solid dan ber skill. 




Maka, ketika Rama berkata "cukup!", gue segera mengibaskan rambut gondrong gue, kemudian berteriak -teriak sambil ngacungin jari metal ke udara : " we want more! we want more! we want more! "
*kemudian gue di usir penjaga bioskop.


 Fight Scene

Apa yang membuat The Raid menjadi fenomenal buat gue adalah adegan perkelahiannya yang digarap dengan pendekatan yang belum pernah ( atau jarang ) dilakukan film eksyen lain. Film lain, tentu saja punya fighting-scene yang nggak kalah megah, tapi sebagian besar dari mereka lebih senang bermain aman dengan memberi telalu banyak CUT, trik kamera, atau tambahan spesial efek ( CGI ) di dalam fighting scene nya. Melakukan cara-cara tersebut bukanlah sebuah dosa, hanya saja,  dalam The Raid, Gareth Evans berani nawarin hal beda. Dia lebih milih maksimalin skill para stuntsnya yang merupakan praktisi martial arts ( Pencak Silat ) beneran dan mengandalkan desain koreografi  yang dirancang dengan matang. Sebagai contoh, adegan epik Kitchen Fight ( Rama vs The Assasins ) yang kita liat sepanjang 6 menit itu sebenernya butuh waktu 6 minggu buat ngerancang desain koreonya aja, sementara pengambilan gambarnya butuh waktu 10 hari. ( Bayangin, itu waktu yang cukup buat Nayato untuk memproduksi 20 film ). Hasilnya adalah sebuah adegan kelahi menakjubkan yang belum pernah gue liat sebelumnya di sebuah pelem. stunning. 

Selain itu, shot-shot berantem dalam The Raid seringkali dibiarin panjang  tidak terputus ( atau mungkin ada cut disana, tapi Gareth Evans berhasil menyiasati supaya itu terlihat kontinyu ) .  Ini membuat fighting scene dalam The Raid punya feel beda jika dibandingkan pelem lain. Dia kasar, cepat, real sekaligus brutal. 


Lalu, pergerakan kamera juga punya peran yang  krusial dalam mendukung adegan fighting tersaji dengan sempurna. Liat bagaimana adegan perkelahian di lapangan lumpur penjara yang  epik itu, kamera seakan-akan menyeruak cepat berlarian kesana kemari tak terputus diantara jotosan, tikaman, tembakan, dan bacokan para petarung. Lalu liat juga gimana kamera tiba-tiba memutar seiring ayunan baseball dari Baseball Bat Man menghantam wajah musuhnya, atau bagaimana kameramen rela ikut melemparkan dirinya bersamaan dengan Epy Kusnandar yang terlempar, lalu trik oper-operan kamera di adegan kebut-kebutan mobil yang ramai dibahas itu, trik yang sebenarnya sederhana tapi jelas memerlukan keteguhan visi dan kreatifitas seorang sutradara.

Pada akhirnya, kombinasi hal-hal diatas ( koreo, skill para stunt, camera movement ) berhasil menghadirkan sensasi 'ouch!', 'aaah!', 'uuh!' juga 'damn!' 'bangsat!' 'anjing!' yang nikmat.  Bukankah Itu sesuatu yang semua action-fan pengen liat? Atau kalo kalian nyari adegan perkelahian yang indah di liat, kalian bisa nemuinnya di genre wire-fu, disana pertarungannya dilakukan sambil terbang-terbang. mirip sirkus.


 Graphic-Violence.

The Raid 2 punya kandungan kebrutalan massive yang akan susah disamai ama pilem-pilem crime-action-thriller modern lainnya. Adegan pertarungannya ( juga koreografinya ) segera membuat hallway fight scene dalam Oldboy  menjadi terasa sangat lambat dan lembek, dan fight scene dalam beberapa pilem lainnya ( The Man from Nowhere, Ong-Bak dll ) dengan terpaksa harus gue turunin peringkatnya berada di bawah The Raid 2.


 Meski begitu, buat penonton hardcore, sebenernya kandungan graphic-violence disini masih berada dalam dosis yang 'terkontrol'.   Maksud gue, dia belum nyampe ke level disturbing. Diinget-inget, gue bahkan nggak nemuin satu pun organ tubuh yang terlepas dari tempatnya semula. Kalo kalian ngecek karya Gareth Evans sebelum ini, Safe Haven ( segmen dalam V/H/S/2 ) kalian akan nemuin sesuatu yg jauh lebih ekstrim ketika ngeliat Epy Kusnandar meledak dan organ2 tubuhnya berceceran hehe. 

Dalam The Raid 2, semua kulit robek, cipratan darah, tulang patah, kepala pecah dll ditunjukin sebagai konsekuensi dari sebuah pertarungan yang keras, chaos, cepat dan brutal. 

Memang ada adegan eksekusi 5 orang dengan cutter yang membuat sebagian penonton meringkuk dan menutup matanya, tapi disinipun Gareth masih berbaik hati untuk tidak membuatnya se-eksplisit  slit-throat dalam Safe Haven hehe. 

Yup, gue pikir semua graphic violence dalam The Raid, meski muncrat-muncrat  masih cukup terkontrol, di desain aman untuk audiens luas ( memang akan mengguncang untuk penonton di bawah umur, tapi itulah kenapa pilem ini mendapat rating 'R' ) dan ditunjukin disana untuk ngasih orgasme-visual  yang nikmat. Itu satu hal yang udah jarang gue dapetin dari pilem2 action kebanyakan.


 Anti-Hero

Salah satu hal menarik dalam franchise The Raid bagi gue mungkin adalah konsep anti-hero nya, nggak ada orang yang berlagak menjadi pahlawan berhati mulia disini. Rama? dia orang baik, dia juga punya daya tahan tubuh setara superhero berkostum. tapi jelas, dia bukan pahlawan.

Dalam The Raid 1, ketika keadaan memburuk dan Rama sadar telah masuk perangkap konspirasi polisi korup, dia terpaksa bertarung dan membunuhi banyak orang hanya demi tujuan survival agar bisa kembali ke istri hamilnya. Dia sepertinya nggak terlalu berminat membekuk Tama ( sang gembong kriminal ) demi sebuah alasan besar yang biasanya dimiliki superhero : menyelamatkan masa depan kota agar menjadi lebih baik.

Dalam The Raid 2 pun begitu, Rama sebenernya  nggak tertarik membongkar jaringan mafia papan atas dan polisi korup di kota itu, demi..hmmm --seperti yang dikatakan Bunawar-- 'membersihkan kota dan membela kepentingan yang benar' ( gue bahkan masih meragukan niat mulia Bunawar  ini, jawabannya mungkin akan terjawab di The Raid 3 ). Hingga sesuatu terjadi, sang kakak ( Andi ) dibunuh. So, Rama nggak punya pilihan lain, dia akhirnya menyusup ke dalam jaringan mafia demi motivasi sederhana yang akan dilakuin semua orang biasa lainnya, yaitu : ngebales dendam kematian sang kakak, nyelametin keluarga kecilnya sekaligus nyawanya sendiri. Sangat personal. Sekali lagi kita kemudian ngeliat Rama terjebak dan harus survival, hanya kali ini dalam lingkup yang jauh lebih luas dan kompleks.



Kita bahkan akan ngeliat transformasi Rama dari seorang yang ngebunuh orang dengan terpaksa ( di pilem pertama ), menjadi sosok emosional yang nyaris tak terkontrol. 

Pada sebuah pergulatan seru di lapangan berlumpur penjara, Rama sebenarnya sudah berhasil melumpuhkan musuhnya ( Rex Metino ) dengan mematahkan kaki dan merobek tangannya, tapi dia ngerasa itu belum cukup dan hal yang kemudian terjadi adalah sesuatu yang nggak akan dilakuin protagonis manapun di pilem, ngancurin kepala musuh tak berdayanya dengan sebongkah batu besar (!).

Banyak yang berpendapat itu adalah sebuah glorifikasi kekerasan yang tidak perlu, tapi buat gue itu perlu. Selain karena ngeliat orang mecahin kepala orang laen pake batu besar di pilem itu menyenangkan, adegan itu negesin kalo Rama hanyalah manusia biasa yang bisa juga tak terkontrol ketika terjebak dalam situasi genting hidup-mati. Konsep anti-hero seperti ini lah yang membuat karakter Rama buat gue terasa dekat dan masuk akal. Maksud gue, kalo kalian berada dalam situasi yang sama, kalian juga mungkin akan ngelakuin hal mengerikan apa aja buat mastiin musuh kalian nggak bisa bangun lagi.

Kalo mau merenung lebih dalam, karakter Rama dalam The Raid seperti ngasih inspirasi : bela dan lindungilah orang-orang terdekatmu terlebih dahulu ( keluarga, saudara, teman, ), jika kamu melakukannya dengan benar ( inget, dengan benar ya ), kamu sama saja telah melindungi alam semesta.

astaga! ngomong apaan gue? *minum obat.


 Surreal-komikal

Kita nyampe pada adegan yang banyak membuat penonton kebingungan dan mengeluh : turunnya salju di setting kota yang dari gedung2 dan jalanannya kita kenal sebagai Jakarta haha.

Gue pikir, sejak adegan paling awal, Gareth Evans udah ngasih petunjuk kalo dia memilih membuat The Raid 2 : Berandal menjadi surreal-komikal. Liat aja, Bejo, ( juga anak buahnya ) digambarkan selalu memakai mantel tebal panjang lengkap dengan sarung tangan kulit berwarna hitam seakan-akan mereka sedang berada dalam sebuah negara  yang mempunyai cuaca sangat dingin, bahkan ketika berada di sebuah kebon tebu haha. Ini terasa surreal, terutama kalo nginget tebu ini taneman yang cuma tumbuh di tempat yang beriklim hangat ( tropis ). Lebih lanjut, kalian juga nggak akan nemuin orang pake kostum kaya gitu di pelosok Indonesia manapun. So, mungkin itu sebuah dunia yang hanya ada dalam imajinasi Gareth Evans ( alternate universe ). Dunia fantasi dimana kalian juga nantinya akan menemui karakter yang biasanya hanya kalian lihat di halaman sebuah komik : perempuan difabel bersenjatakan sepasang palu dan pembunuh ber hoodie yang ngancurin batok kepala dengan bola baseball.

Adegan awal ini aja sebenernya  udah ngasih tau kalo The Raid 2 akan sangat berbeda dengan The Raid 1 yang terasa real dengan Tama yang memakai singlet ( dan melahap mie ayam ), serta anak buahnya yang ber sandal jepit. Bukan hanya dari cakupan nya yang lebih luas, tapi juga dari konsepnya. it's completely different. Jadi, jika sejak menit awal, kalian bisa menerima gagasan dan pilihan artistik Gareth di sekuelnya ini, mestinya kalian juga nggak akan bingung lagi pas ngeliat salju turun di 'kota aneh' itu. 

Lagipula, bukankah selalu sangat indah ngelihat darah tertumpah diatas salju? 



Apapun, buat gue adegan Prakoso dan salju ini adalah scene paling memorable dalam The Raid 2. Adegan The Assasins perlahan2 mendekati Prakoso dengan latar belakang jalanan kota Jakarta ( atau entah kota apa itu? terlihat seperti kota dalam Silent Hill ) yang sangat sepi dan sepenuhnya sudah tertutupi salju sungguh terasa chilling dan surreal. 




Ini juga sedikit banyak menambah kesan 'dingin' dari karakter The Assasins. Lalu, sedikit backstory sosok Prakoso ( pembunuh bayaran yg memilih hidup menjadi gelandangan, sangat merindukan anaknya , dan sangat setia namun kemudian dikhianati ) juga berhasil membuat scene ini terasa lebih emosional, terutama jika di bandingkan fight scene laennya di pilem ini. Sementara itu, karambit brutal fatality, darah yang  tertumpah di atas salju, dan alunan Sarabande membuat kebrutalan yang tersaji menjadi terasa puitis, stylish dan indah. Meski begitu,  Gareth Evans tetep nggak lupa untuk bermain-main dengan menambahkan gerobak lomie ayam dan ketoprak disana haha. 


 Oh tunggu, sejujurnya gue sendiri nggak yakin apakah tujuan dia naro gerobak lomie ayam disana adalah buat ngasih sedikit humor?  bahkan aslinya gue nggak tau apa yang bikin scene ini jadi lucu ( kasusnya sama kaya dulu banyak penonton yang ketawa pas denger cara ngomong ibu Dara dalam 'Rumah Dara' ). yang jelas, sebagian besar penonton di teater tiba-tiba ketawa. Termasuk gue yang terkekeh haha. Abis ini, setiap gue ngeliat gerobak lomie ayam, gue akan selalu ngeliat sosok The Assasins disana.

Siapapun pemilik warung ini, gue saranin buat segera ngerubah nama warungnya menjadi 'Lomie Ayam Karambit'.

Minor Part

Dari tadi muji-muji terus ya, hehe sekarang gue pengen ngebahas satu hal minor yang sedikit mengganjal dari pilem ini.

Figuran
Pemain-pemain utama dalam The Raid 2 bermain bagus, terutama yang paling nggak disangka-sangka adalah penampilan Cecep Arif Rahman sebagai Assasins yang sebenernya nggak punya latar belakang  seni peran.  Dia jelas nggak perlu ngerasa inferior dengan pendahulunya, Yayan Ruhian. Gue kasih apresiasi khusus lah buat siapapun yang mengkasting bang Cecep.

Tapi, menurut gue Gareth Evans punya masalah dengan para figuran-figurannya.

penjara yang konon penuh kekerasan itu ternyata punya sipir yang lebih pantes jadi satpol PP
 
yang ini lebih mirip penganten cowo mau ke KUA
iya bro, banyak figuran dalam film ini menurut gue keliatan sangat nggak meyakinkan menjurus menggelikan, dari mulai sipir penjara yang ceking-ceking sampe para anak buah para gangster yang terlihat culun dan tidak mengancam. Gue bahkan bisa ngenalin satu figuran yang berperan ganda. kalian liat snapshot di bawah ini :

 
perhatiin, figuran ini berperan sebagai anak buah Goto Gumi yg digebuk Baseball Bat Man ( anak buah Bejo )
 
figuran yang sama ternyata berperan juga sebagai anak buah Bejo ( paling kiri )
Ini membuat gue berfikir, begitu susahnya kah nyari figuran bertampang kejam, meyakinkan dan bertubuh gedean dikit? hehe ini cukup mengganjal kalo nginget Gareth Evans nggak punya masalah ama detil2 kecil soal figuran ini di The Raid 1. Inget kan geng parang dari Ambon itu? hehe Nah, gue berharap di pilem2 selanjutnya Gareth bisa kembali merhatiin detil2 kecil kaya gitu.

.......................................................

Overall,
Gue nggak bisa bilang kalo The Raid 2 udah ngelewatin prdecessornya, gue pikir keduanya punya feel yang berbeda. it's completely different. 

Tapi, yang jelas Keduanya sama-sama fenomenal dan sukses ngeletakin standar baru buat sinema action modern. Dan untuk mengatakan The Raid 2 sebagai the greatest action movie of all time mungkin akan sedikit debatable, tp gue nggak ragu buat bilang ini adalah pilem action-crime paling extremely-violence nan bloody as fukk yang pernah gue tonton. Ciaaattt! Crot!
 ....................
++ Oiyah, euphoria The Raid 2 saat itu membuat gue bersemangat membuat fanart sederhana ( aslinya sih, karena skill gue yang cekak ), bahkan ketika filmnya belum rilis hehe.
                                                                     
RATING:

5 comments:

  1. Lho, ane kira cuma blog sigilahoror yang masang review Berandal, sini juga toh, heuheuheu...

    Ane masih ingat nonton bareng film ini sama temen, teriak2 kelojotan pas lihat bagian kitchen fight, it's beautifully sick!

    Denger2 Tony Jaa yg maen di Ong Bak bakalan ikut The Raid 3, tapi sekedar rumor doang sih...

    ReplyDelete
  2. Baru nyadar kalo ini tuh 1 dari cuman sekitar 6 (enem) film yg gue tonton sepanjang taun 2014 ini. Ga nyangka kesibukan ngejuriin Miss World ama nidurin supermodel ternyata pengorbanannye segede ini.

    ReplyDelete
  3. @nafiz : katanya sih bos. Tapi, daripada Tony Jaa, Scott Adkins atau siapapun yang dirumorin bakalan ikut The Raid 3, gue sendiri lebih ngarep Rama akhirnya akan berduel dengan..Barry Prima atau Advent Bangun hehe di tangan Gareth gue tau itu bakalan jadi duel epik.

    @zombem : untuk bagian nidurin supermodel, gue mau nuker kesempatan itu ama 10 judul film horror jelek kesukaan kamu

    ReplyDelete

  4. KEREN GAN ARTICLE NYA
    KUNJUNGI JUGA BLOG SAYA YA GAN
    =>http://chaniaj.blogspot.com
    http://www.dkipoker.com/dkipk/index.php

    ReplyDelete
  5. berselancar lagi, berkunjung lagi, baca baca lagi..
    film ini uda lama juga, tapi ya seru seru juga..

    oh iya, sebetulnya blog ini jadi blogwalking pertama ane nih waktu bikin blog dulu, cuma gara kesambit google tos, akhirnya ilang deh blog ane dari peredaran..
    tp salut, blog ini masih exist sampe sekarang..

    great job fellas..

    ReplyDelete