14 July 2013

ROPE ( 1948 )

Storyline : 


Entah buku siapa yang dia baca ( namun nama Nietzsche dengan teori 'Super Man' nya disebut-sebut disini ) , Rupert Candell ( diperankan oleh James Stewart yang 6 tahun setelah film ini menjadi pemeran utama dalam salah satu karya fenomenal Hitchcock 'Rear Window' ) mempercayai teori bahwa manusia yang superior secara intelektual dan berkepribadian unggul dimana mereka dianggap telah melampaui konsep moral tradisional tentang baik-buruk atau benar-salah, berhak melakukan pembunuhan ( yang disebutnya juga sebagai 'karya seni' ) terhadap manusia bodoh-menyedihkan-tak berguna dari kelas sosial yang lebih rendah. Lebih jauh, setengah bercanda Rupert juga berkata kalo dia percaya pada ekstremis yang mengharuskan adanya musim membunuh setiap tahun, atau 'pekan penggorokan' atau bahkan 'hari pencekikan'. Tentunya, jika umat manusia menjalankan ide itu, gue --sebagai manusia berkasta paling menyedihkan yang datang dari ras terbelakang mental-- pastilah akan menjadi salah satu yang bernasib paling mengerikan di 'pekan penggorokan' yang diadakan para super human. 

Beruntunglah, Rupert menyampaikan gagasan horor itu hanya setengah serius di sebuah pesta para kolega yang di penuhi gelak tawa. 




Namun rupanya tidak bagi Brandon ( John Dall ), salah satu teman Rupert. Brandon sepertinya menganggap ide hak membunuh manusia rendahan bukan lah sebuah lelucon. dia 100% percaya ide itu, dan menganggap dirinya ( bersama pasangan gay nya? ) Phillip adalah contoh dari mereka yang mempunyai keunggulan budaya dan intelektual. Super human. 

Jadi, tak mau hanya ber teori, Brandon dan Phillip mempraktekkan ide itu dengan mencekik sampai tewas salah satu teman mereka ( David Kentley ) yang digambarkan Brandon sebagai 'mahasiswa harvard yang tak lulus'. 

Tak cukup sampai disitu, Brandon yang percaya telah melakukan sebuah karya seni indah, berencana menguji 'karya seni' nya agar menjadi lebih sempurna dengan menyembunyikan mayat David di dalam sebuah meja yang diletakkan di tengah2 ruang tamu apartemen. Brandon lalu menghiasi meja ( atau sekarang menjadi 'peti mati' ) itu dengan lilin-lilin dan lebih ekstrim lagi kemudian mengundang teman-teman dan keluarga David untuk berpesta di ruangan itu.

 " kepuasan melakukan pembunuhan yang sempurna sama dengan melakukan penciptaan yang sempurna " Brandon. 

Dari sini suspense perlahan-perlahan dibangun ketika teman-teman dan keluarga David mulai mencari-cari keberadaannya, dan tensi semakin memuncak saat Rupert rupanya mengendus sesuatu yang tidak beres. Akankah 'karya seni' Brandon dan Phillip akhirnya menjadi sempurna?

REVIEW 


Tak diragukan lagi, Alfred Hitchcock adalah seorang 'master of suspense'. Gue belum menonton semua film2nya, tapi dari yang udah sempet gue tonton, semua film2 pria gendut-botak ini selalu memuaskan dan berhasil menyeret gue untuk terlarut dalam cerita, merasa penasaran, lalu mengalami ketegangan yang membuat darah terasa mengalir lebih cepat  , semua itu biasanya dituntaskan dengan sebuah twisty-ending yang lezat . Seinget gue pengalaman mengasyikkan yang sama cuma gue dapetin ketika membaca novel2 detektif karya Agatha Christie, Sidney Sheldon, cerpen-cerpen kriminal di majalah Intisari dan stensilan Enny Arrow, terutama dalam kaitannya dengan menciptakan 'ketegangan yang membuat darah terasa mengalir lebih cepat ' hehe.

Dia sutradara yang mempelopori banyak gaya dan teknik baru  sinematografi dalam film2 bergenre suspense atau psiko-thriller. 

Dan dalam film yang ternyata diinspirasikan dari kasus 'Leopold & Loeb' ini ( buka om Wiki untuk mengetahui lebih rinci tentang kasus itu ) Hitchcock memakai teknik ' single take' dalam sebuah setting yang sempit. ( teknik yang sama juga diterapkan Hitchcock setahun sebelumnya dalam 'Lifeboat'). Ini maksudnya Kamera mengambil gambar tanpa jeda, mengikuti dari belakang ketika karakternya berjalan , ikut berhenti ketika karakter berhenti,  mengclose-up untuk ngambil fokus pada ekspresi wajah, kembali zoom-out dan setelah sepuluh menit baru ada transisi yang dibatesin dengan sebuah obyek/properti berwarna gelap. Pengambilan gambar  selanjutnya kemudian di lanjutkan dengan menyorot obyek yang sama untuk menghasilkan kesan gambar yang tak terpotong. Konon, kenapa akhirnya ada jeda/transisi disana setelah 10 menit, adalah karena pada saat itu hanya sepanjang itulah durasi pengambilan gambar yang bisa di tangkap rol kamera film. Itu artinya, dengan kecanggihan kamera zaman sekarang, kalo Hitchcock masih idup, dia kemungkinan akan membuat film dimana nggak ada jeda sama sekali dalam pengambilan gambarnya.

Tentunya, teknik kaya gitu, apalagi mengambil setting yang itu-itu doang sangat berpotensi untuk menjadi membosankan ( bahkan beberapa kali gue mengguman, "ini kok kaya sandiwara panggung di TVRI dulu ya" ). Tapi, apapun..itu ternyata nggak menghalangi gue buat bisa menikmati dan mengikuti semua yang tersaji di layar. Bahkan ketika ternyata nggak ada setetes pun darah ( atau boobs ) yang keliatan dalam pilem ini. Gue juga nggak ngerti kenapa, tapi pastinya ada yang hebat di sana. mungkin dari kualitas akting para 'tukang pura-pura' nya, dari dialog nya yang asik, cerita yang membuat penasaran, atau temponya yang nggak pernah kendur (  Fyi, film berjalan secara real-time ). Atau secara lebih gampang aje , gue pengen bilang ini mungkin karena yang ngebuatnya adalah Alfred Hitchcock. Sang master of suspense. bapaknya Norman Bates.

Ada mayat tersembunyi di tengah2 ruangan, ada kolega & keluarga yang cemas mencari nya, ada professor yang curiga, dan ada pasangan gay pembunuh yang berusaha membuktikan pembunuhannya adalah karya sempurna. Semuanya berkumpul dalam satu setting ( ruang tamu apartemen ). Diblender sedemikian rupa agar menghasilkan tensi dan  letupan-letupan ketegangan yang asoy. Ketika Brandon di ceritakan mempunyai karakter tenang, perfeksionis dan pandai mengatur emosi, Phillip ( partner-in-crime nya ) di ceritain terlihat bimbang, gugup dan panik. Terus terang, karakter Phillip disini cukup annoying, tapi bagaimanapun beberapa suspense tercipta dari kegugupannya


Hal menarik lainnya dari film ini, Hitchcock banyak meminjam referensi dari teori filsafat Nietzsche dan psikoanalis nya Freud. Gue belum pernah membaca secara tuntas tulisan2 dari penulis yang namanya susah diketik diatas. Hanya membaca secara sepotong2 dan sepintas saja, tapi sejauh yang gue baca sih cukup menarik memang. Setidaknya gue jadi tau kalo Nietzsche ternyata bukan nama seorang waria kalijodo ( itu Nisye, nyet! ) , dari membacanya gue juga tau kalo gue positif tergolong manusia yang inferior, tapi tentunya itu nggak bisa dijadiin alasan untuk tidak menjadi pembunuh. Bukan begitu om Freud? hrrrrhh.

Overall, 

Suspenseful, stunning, funny, and ultimately tragic. Pengalaman 81 menit yang mengasyikkan. sangat direkomendasikan buat penggemar suspense dan thriller psikologi. 

RATING:
Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic



1 comment: