28 January 2014

Dead Man's Shoes ( 2004 )


" God will forgive them. He'll forgive them and allow them into Heaven. I can't live with that." ( Richard )

..............................

Seorang pria dengan jaket panjang dan beanie hat ( kupluk ) memasuki sebuah bar kecil di kota Midlands, lalu dengan langkah santai dia langsung mendekati pria lainnya yang sedang bermain bilyar " fucking great pills, man " bisiknya sambil memberikan sesuatu. Segera saja kita tahu pria itu adalah preman setempat yang juga merangkap drug dealer.

Sementara itu, di meja sebelah sana, duduk pula 2 orang pria. Yang satu tampak tangguh dengan brewok dan jaket army nya, yang satu lagi terlihat lebih muda serta memiliki ciri-ciri wajah yang biasanya hanya ditemui pada para penderita keterbelakangan mental.

" Here's one, bro " bisik pria muda berwajah idiot ini pada pria tangguh didepannya, matanya menunjuk ke arah pria yang memakai topi kupluk tadi. Yang di beri tahu, bagaikan senapan menemukan sasaran tembak, langsung menatap lekat-lekat ke arah target. Itu jelas tatapan penuh kebencian untuk sejenis parasit menjijikkan-menyedihkan yang hanya layak untuk di hancurkan.

Tak terima di tatap seperti itu, sang preman berkupluk membentak " What the fuck are you looking at?!" namun dia segera tercekat ketika yang di terimanya adalah geraman murka yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sedang memendam dendam kesumat.


Ketika film bergulir, kita akan tahu pria ini adalah Richard ( Paddy Considine ), anggota militer yang baru saja kembali ke kota Midlands dari tugasnya di medan perang. Sementara pria lebih muda yang bersamanya adalah Anthony ( Toby Kebbell ) , sang adik yang terbelakang secara mental.

Apa yang membuat Richard memendam amarah kemudian ditunjukin lewat serangkaian flashback yang ngasih tau kita kalo ternyata ketika dirinya bertugas, Anthony, mengalami pelecehan baik mental juga fisik yang dilakukan oleh sekelompok gangster lokal yang salah satu anggotanya adalah pria berkupluk tadi.

Sekarang, Richard telah kembali ke kota kecil Midlands, dan dengan kemarahan berkobar sepertinya tak sabar untuk menghukum mereka yang telah memberi adik tercintanya penderitaan dan kehinaan. 


........................................

Dari awal, tone moody nya sudah di set. Kota kecil yang muram di Inggris utara, long-shot scene, dan ditimpali akustik lirih dari band lo-fi / alternative country 'Smog' ( cek lagunya 'Vessel in vain' --jujur setelah menonton film ini, lagu-lagu ben ini -Smog- berhasil mengkudeta posisi band lain di chart list player gue--  ), siapapun mungkin akan menyangka kalo ini adalah sebuah film indie kecil bergenre drama keluarga nan poetic dan lamban dengan dialog-dialog yang sering kali membosankan. Sama sekali nggak ada tanda-tanda violence seperti yang ditunjukin di posternya ( siluet seseorang memegang kampak, anyone? )

Tapi, itu mungkin memang atmosfir  yang dipilih Shane Meadows ( sutradara ) untuk nyeritain sisi gelap dari apa yang pernah terjadi di kota kecil Midlands. 

Plotnya sendiri sangat simple. Sebuah straight revenge story. Seorang kakak ( Richard ) kembali dari tugas militernya, dan nemuin kenyataan kalo sang adik tercinta telah mengalami pelecehan baik mental dan fisik oleh sekelompok preman. Kepedihan dan amarah membuncah, dan dendam harus terbalaskan. sesimple itu.

Menarik ngeliat gimana Richard ( Paddy Considine ) yang seorang anggota militer sengaja menggunakan mind games untuk meneror mental para bromocorah kecil ini sebelum mengeksekusinya satu demi satu dengan dingin. Jika John Rambo ( yang sama2 memiliki skill militer  ) ada di posisi yang sama dengan Richard, dia pasti lebih memilih untuk menghamburkan sebanyak mungkin peluru, granat, dan tembakan bazooka ke markas musuh, meledakannya dengan brutal untuk kemudian berjalan dengan tenang membelakangi ledakan sambil menghisap rokoknya. Haha.  Richard tidak seperti itu, dia terlihat mampu memanipulasi emosi, lebih dingin, namun di bagian dalam memiliki kepedihan dan kemarahan yang terasa lebih panas dari apapun.  

Menarik pula ngeliat reaksi para preman ketika berhadapan dengan terror Richard. Kita akan menyadari, kalo orang2 ini sebenarnya hanya pecundang dan pemabuk kecil. Premdes ( preman desa ) yang meski bertingkah laku mengesalkan ( dan bermulut kotor,tercatat kalimat 'fuck' diucapkan sebanyak 116 kali dengan logat british yang kental ), namun sebenarnya memiliki track record yang tidaklah sejahat itu.  Berhadapan dengan Richard yang marah, preman2 ini dengan cepat dilanda kepanikan. Mereka sempat mencoba melawan, namun akhirnya hanya berujung pada kepanikan yang jauh lebih besar. Ini secara aneh, menciptakan tawa ( komedi ) diantara gelapnya cerita, soundtrack yang lirih dan kekerasan yang cukup disturbing disana-sini


Pada satu titik, gue bahkan sampe ngerasa kasihan pada para premdes ini dan ngerasa apa yang dilakukan Richard sudah kelewat batas. Untungnya, film yang skripnya ditulis sendiri oleh sutradara dan aktor utamanya ini, meninggalkan cukup ruang untuk 'belokan' diujung cerita, kejutan  ini sekaligus ngejelasin kenapa Richard menjadi demikian brutal dan tanpa kompromi. Twist yang tidak terlalu krusial memang, namun berhasil membuat gue dengan sukarela menambahkan beberapa bintang lagi untuk film yang menyabet Best British Independent Film ( 2004 ) ini.

Tensionnya sendiri dibangun perlahan dengan pacing yang terjaga, tak pernah menjadi draggy, dan pemilihan soundtrack2nya sangat membantu menciptakan mood dan atmosfir yang hendak dicapai. Diatas semuanya, yang paling menarik, dengan cerita yang simpel, film ini memilih jalan yang jarang ditempuh film lain : fokus pada emotional-depth yang untungnya buat gue terasa jujur . ( oke, sedikit didramatisir dibagian akhir sih, tapi itu minor-problem aja buat gue hehe ).

Sementara itu, semua cast bermain cemerlang , highlight untuk Paddy Considine ( doi memenangkan Best Actor di British Independent Film Award 2004 ) dan Toby kebbel yang memerankan pria terbelakang mental, berhasil meraih Most Promising Newcomer di ajang yang sama ( yang hebatnya, dikasting hanya sehari sebelum suting dimulai ). 



So, overall, 

setelah cukup banyak menonton film2 bertema revenge dari Korea Selatan yang sakit, dan film2 action-thriller-revenge 80-an yang silly-cheesy-fun, sangat menyegarkan buat gue bisa menonton film bertema revenge dengan atmosfer yang unik dan berbeda.

Sebuah edgy-thriller-revenge-dark-comedy yang disturbing, menyedihkan namun juga puitis.

Gue tak ragu, menempatkan 'Dead Man's Shoes' dalam daftar film-film  revenge terbaik. Tentu saja, versi personal hehe.  


...........................................


TRAILER

RATING:

1 comment:

  1. hohhoo..bang ringgo balik lagi., review Berandal dong bang..hehe

    ReplyDelete